Tugas Paper Sitti J. Sakamole (14014101007)
MALINGERING
BAB I
PENDAHULUAN
Penipuan
adalah perilaku manusia yang umum terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Namun,
ketika terjadi dalam keadaan
klinis atau berhubungan dengan forensik,
itu membuat pekerjaan dokter lebih menantang, karena melibatkan beberapa
derajat skeptisisme pada seseorang yang telah terbiasa dilatih untuk percaya pada pasien. Ketika motivasi untuk penipuan
ada, dokter harus mampu mengungkap karakteristik phenomenologik diskriminan
yang akan mengkonfirmasi atau menolak gagasan bahwa pasien berpura-pura sakit.
Jika tidak, sumber daya penting dapat
terbuang sehingga merugikan orang yang benar-benar sakit. Di sisi lain, situasi yang kompleks mungkin timbul
di mana berpura-pura sakit koeksis
dengan gangguan mental asli.1
Istilah “malinger” tampaknya
muncul dari idiom Perancis akhir abad kedelapan belas (malingrer) yang berarti "menderita" atau
"berpura-pura menjadi sakit". Konotasi modern biasanya mencerminkan hanya yang terakhir, lebih
memberatkan, dan merendahkan nuansa.1Berdasarkan American
Psychiatric Association 2000, malingering
atau berpura-pura didefinisikan sebagai perekayasaan berencana atas
gejala-gejala gangguan fisik maupun psikologis yang didorong oleh insentif
eksternal. Insentif tersebut dapat berupa kompensasi finansial, uluran simpati,
maupun kelonggaran hukum. Disamping keluhan fisik, mereka biasanya mengelak
dengan tidak kooperatif selama pemeriksaan dan pengobatan, dan mereka
menghindari prosedur medis. Rekayasa dapat dilakukan dengan, pertama
memfabrikasi suatu penyakit yang sesungguhnya tidak ada, atau kedua,
membesar-besarkan kadar keparahan penyakit lebih daripada keadaan yang
sebenarnya.2,3
Orang dengan malingering
(berpura-pura) memiliki suatu tujuan lingkungan yang jelas dan dapat dikenali
dalam menghasilkan tanda dan gejalanya.4 Dari penjelasan di atas
sebenarnya tujuan utama adalah untuk mengenali peristiwa-peristiwa berpura-pura
ini, sehingga terapi yang tidak diperlukan dapat dihindarkan serta dapat
membongkar kejahatan dari para pelaku kriminal di Indonesia.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Malingering tidak dipertimbangkan
sebagai penyakit mental. Pada Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), malingering diberikan kode
V (V65.2) sebagai kondisi lain yang mungkin menjadi focus perhatian klinis.
DSM-V mendeksripsikan malingering
sebagai perekayasaan masalah fisik atau psikologikal dengan sengaja yang palsu
atau sangat dilebih-lebihkan dari yang sebenarnya. Motivasi untuk berpura-pura
(malingering) biasanya bersifat eksternal (misalnya menghindari tugas atau
pekerjaan militer, mendapatkan kompensasi finansial, menghindari prosekusi
criminal, atau mendapatkan obat).3,6
B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi malingering tidak
diketahui pasti, walaupun beberapa klinisi percaya bahwa gangguan ini lebih
sering terjadi daripada yang diketahui. Keadaan ini pun lebih banyak dijumpai
pada pria dibandingkan wanita, serta gangguan kepribadian antisosial lebih
banyak terjadi pada orang dewasa dan gangguan perilaku lebih sering pada
anak-anak.4,7 Berpura-pura sakit untuk mendapatkan kompensasi umum
terjadi pada pemeriksaan Social Security
Disability, yaitu sekitar 45.8%-59.7% dari kasus pada orang dewasa. Pada
tahun 2011, perkiraan biaya malingering
pada kasus medikolegal total berjumlah 20.02 juta Dollar Amerika.8
Malingering kadang-kadang dapat terjadi diantara pasien yang mencari pengobatan
untuk posttraumatic stress disorder
(PTSD) oleh karena pengalaman trauma yang berhubungan dengan perang.9
Malingering pada PTSD merupakan rekayasa gejala fisik dan/atau psikologikal
secara sengaja yang berhubungan dengan diagnosis PTSD diperkirakan sekitar 20% pada
veteran perang yang meminta kompensasi.10 Pada sebuah penelitian
yang dilakukan, Miller Forensic
Assessment of Symptoms Test (M-FAST) dapat digunakan untuk deteksi
malingering pada PTSD yang berhubungan dengan perang.9
C. ETIOLOGI
Heilbrun et al (2002) menyarankan bahwa
faktor yang menyebabkan malingering harus dibagi menjadi tiga komponen—riwayat, motivasi, dan perilaku.
Sreenivasan et al menyediakan sampel checklist
untuk
pemeriksaan amplifikasi/malingering pada trauma kepala dimana mereka membuat
model yang memberatkan faktor multipel dalam memeriksa klaim pada trauma
kepala. Mereka juga membagi komponen menjadi: neuropsychologic
testing issues, congruence of testing
and behavior, congruence of symptoms
or signs with clinic data, faktor nonklinikal,
adanya
gangguan psikiatrik atau kondisi lain yang dapat berkonstribusi terhadap gejala
amplifikasi atau atipikal, dan miscellaneous (misalnyariwayatlitigation, berbohong, malingering,
aktivitas
kriminal, job track record, and respon terhadap
trauma sebelumnya).11-5
Malingering harus di
investigasi dengan mencari fitur atau gejala dari empat domain berikut:
motivasi/keadaan, gejala, wawancara presentasi tuntutan, dan aktivitas/perilaku
di luar wawancara (Tabel 1). Derajat hubungan dengan malingering setara dengan jumlah faktor-faktor yang disebutkan
diatas dan dapat dilaporkan sebagaikonsisten tinggi dengan malingering, konsisten sedang dengan malingering, atau konsisten minimal dengan malingering. Juga terdapat faktor-faktor yang mengindikasikan bahwa
orang tersebut mungkin tidak berpura-pura dan klaimnya dapat dibenarkan (Tabel
2).11Tabel 3 berisi daftar keuntungan lain, sebagai tambahan
finansial dan personal yang mungkin memotivasi individu untuk berpura-pura (malinger) pada malinger PTSD.16-17



Ali S, Jabeen S, Farzana A. Innov Clin Neurosci. Vol. 12, No. 1-2, 2015.
D. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS
Gejala
malingering seringkali amat samar, subjektif, lokalisasinya tidak nyata, dan
tidak dapat diukur secara objektif. Gejala yang khas termasuk nyeri di kepala,
di leher, di dada, atau dipunggung, pusing, amnesia, hilangnya daya lihat, atau
daya raba, pingsan, kejang dan halusinasi serta gejala psikotik lainnya. Pasien
sering marah ketika dokter bertanya tentang gejalanya. Orang yang berpura-pura
dapat pula mencederai diri sendiri, atau berpura-pura cedera atau kecelakaan
disengaja agar mendapat kompensasi, pasien mungkin berupaya dengan segala cara
untuk memalsukan data atau catatan medik untuk mendukung keluhan palsunya itu.
Pasien dengan berpra-pura menunjukkan gejala vorbeireiden.5
Gambaran klinis orang berpura-pura yang jarang
ditemukan dibandingkan pada penyakit yang sungguhan:5
1)
Gejala yang samar, tidak jelas, overdramatisasi, dan tidak sesuai klinis
yang selama ini dikenal.
2)
Pasien mencari obat yang adiktif, keuntungan finansial, menghindar dari
hal yang tidak nyaman (seperti penjara) atau keadaan lain yang tidak
diinginkan.
3)
Riwayat pemeriksaan dan data evaluatif tidak mengungkapkan keluhan.
4)
Pasien tidak kooperatif dan menolak menerima lembaran kesehatan yang
terlalu bersih atau pernyataan prognosis baik.
5)
Penemuannya menunjuk ke arah penyesuaian dengan cerita yang dibuat
sendiri.
6)
Riwayat atau catatan medik menunjukkan
riwayat episode cedera yang multiple atau penyakit yang tidak pernah didiagnosis.
7)
Catatan dan data pemeriksaan tampak telah diubah dengan penghapus
(contohnya ada hapusan nyata, zat yang terdaftar dalam urin).
Berpura-pura
sakit tidak dianggap sebagai gangguan mental oleh DSM 5. Hal ini dikategorikan
di bawah "kondisi lain yang dapat menjadi fokus perhatian klinis."
Tabel 5
merupakan daftar karakteristik malingering
seperti yang dijelaskan oleh DSM 5 dan di tempat lain dalam literatur.Kriteria
diagnosis dari malingering berdasarkan DMS V dicantumkan dibawah
ini.6,10
Kriteria
Diagnosis Malingering menurut DSM V
Jika terdapat “kombinasi apa
saja” dari empat item berikut terdapat pada seorang pasien, dokter harus
mempertimbangkan kondisi malingering:10
1. Pasien berada
dalam konteks medikolegal (pengacara meminta bahwa pasien diperiksa untuk
gangguan mental atau terdapat tuntutan/investigasi kriminal mengenai kehadiran
pasien).
2. Perbedaan yang
jelas terlihat antara pasien yang mengklaim memiliki stres atau disabilitas dan
observasi dan temuan yang objektif.
3. Pasien
menunjukkan sikap tidak koperatif selama evaluasi diagnostik dan mengeluh
dengan regimen terapi yang diresepkan.

Dokter
harus mengambil riwayat seluruhnya,
status mental, dan rincian fisik (termasuk
neurologis) pemeriksaan. Anamnesis yang terbaik dicapai dengan pertanyaan
terbuka dimana gejala dapat ditemukan samar-samar, tidak jelas, dan
overexaggerated. Mereka mungkin tidak sesuai dengan kondisi klinis
diidentifikasi atau dikenal. Pemeriksaan kondisi mental dapat mengungkapkan
gejala konsisten.1,10
Karena keluhan di orang yang
berpura-pura jarang dapat
dipertahankan terus menerus, observasi oleh profesional kesehatan, terutama perawat penting dilakukan. Tanda-tanda vital, log tidur, nafsu
makan, serta interaksi dengan staf dan pasien lain di bangsal mungkin dapat mengungkapkan hal tersebut. Observasi juga dapat mengungkapkan
perilaku mencari obat, kurangnya kerjasama dengan rencana pengobatan, dll.

Gambar 1. Malingering menurut
DSM IV1
Hal ini juga penting
untuk melakukan investigasi psikososial, mengumpulkan informasi dari kerabat,
dan catatan masa lalu dari dokter perawatan primer, psikiater, dan manajer kasus.
Investigasi fisik, termasuk pemeriksaan darah lengkap, biokimia darah, skriningobat
dalam urin,
elektrokardiograf, dan electroencephalograph,
mungkin juga bisa mengungkapkan malingering. Tes psikometrik
spesifik yang bisa dilakukan misalnya Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMSE), Structured Interview of
Reported Symptoms (SIRS), Miller Forensic Assessment
of Symptoms Test (M-FAST), Victoria Symptom Validity
Test (VSVT), Personality Inventory for Youth (PIY), Structured Inventory of Malingered Symptomatology (SIMS), Test of Memory Malingering (TOMM), Rey Auditory
Verbal Learning Test, Wisconsin Card Sorting Test (WCST), dan Trail-Making Test (TMT).1,12-3
Deteksi malingering penting khususnya terhadap evaluasi pasien dengan
trauma kepala, dimana klaim litigation
dan pensiun dapat menyediakan insentif finansial yang substansial terhadap malinger (orang yang berpura-pura).
Ketika pasien diberikan seri tes neuropsikologikal, efek malinger lebih jelas
pada sebagian tes dibandingkan yang lainnya dengan insiden malingering yang relatif rendah terlihat pada Trail-Making Test (TMT). Subyek yang berpura-pura menunjukkan waktu
penyelesaian TMT yang lebih lama dan jumlah kesalahan juga meningkat.12-3
E. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis yang dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding adalah factitious disorder atau
gangguan buatan dan gangguan somatoform dan konversi (Tabel 5).15Adanya
tujuan yang jelas ditentukan oleh faktor utama yang membedakan pura-pura (malingering) dari gangguan buatan (factitious disorders). Berpura-pura
berbeda dari gangguan buatan dimana motivasi untuk produksi gejala pada
malingering adalah untuk mendapatkan insentif eksternal, sedangkan pada
gangguan buatan tidak terdapat insentif eksternal. Bukti-bukti adanya kebutuhan
intrapsikis untuk mempertahankan peranan sakit mengarahkan gangguan buatan.4
Berpura-pura dibedakan dari gangguan konversi dan
gangguan somatoform lainnya oleh produksi gejala yang sengaja dan oleh insentif
eksternal dan jelas yang berhubungan dengannya. Pada berpura-pura (berlawanan
dengan gangguan konversi), peringanan gejala sering kali tidak didapatkan oleh
sugesti atau hipnotis.4
Tabel 5.
Diagnosis Banding15
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
|
GANGGUAN BUATAN
|
GANGGUAN KONVERSI
|
MALINGERING
|
Tujuan
|
Tidak ada niat/ manfaat sekunder (secondary gain)
|
Biasa ada niat/ manfaat
|
Manfaat sekunder
|
Prevalensi
|
Sering pada perempuan umur 20-40 tahun. Orang bekerja di lapangan
kesehatan
|
Sering pada umur 20-40 tahun sosioekonomi yang rendah
|
Tidak diketahui
|
Gejala klinis
|
Gejala tidak konsisten, gejala yang dimiliki berbagai jenis penyakit,
gejala sering yang tidak biasa dan
susah dipercaya
|
Lebih sering gejala neurologis
|
Gejala bervariasi tetapi paling sering gangguan jiwa yang ringan.
|
Kesadaran
|
Produksi gejala disadari
|
Produksi gejala tanpa disadari
|
Produksi gejala disadari
|
Berbeda
dengan gratifikasi eksternal yang dapat memotivasi orang yang suka berpura-pura, pasien
dengan gangguan buatan, terutama sindrom Ganser (Tabel 6), memiliki kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan
intrapsikis yang tidak dapat diobservasi.
Sederhananya, pasien gangguan buatan hanya ingin mempertahankan peran sakit.
Dengan demikian, pasien dengan gangguan buatan bisa melakukan hal-hal yang ekstrim untuk menghasilkan tanda-tanda
fisik dan laboratorium klinis meyakinkan penyakit. Mereka mungkin menyuntikkan
lutut mereka untuk menghasilkan bengkak atau menelan suatu zat untuk mendistorsi
temuan laboratorium mereka. Berkaitan dengan gangguan somatoform, mereka
berbeda dari orang yang berpura-pura
sakit meskipun keduanya sama-sama dimotivasi
oleh keuntungan eksternal, produksi gejala pada gangguan somatoform dilakukan secara tidak sadar. Menurut literatur, tidak seperti di
gangguan konversi, saran atau hipnosis tidak mempengaruhi gejala malingering.1,16-8
Pada malingering PTSD, Hall et al
menggambarkan karakteristik berikut terlihat pada orang yang berpura-pura yang dapat membantu membedakan
mereka dari penderita sejati PTSD: 1) orang yang
berpura-pura lebih sering ditemui pada pasien rawat jalan (penderita PTSD benar lebih sering ditemui
di rumah sakit); 2) orang yang berpura-pura sering
tidak kooperatif dalam pemeriksaan dan tidak
mau menjalani prosedur klinis atau uji obat; dan 3) orang yang berpura-pura sering memiliki sejarah tuntutan
hukum sebelumnya; berurusan dengan
hukum; a perilaku tidak baik di sekolah,
tempat kerja, atau militer; kerja dan kehadiran di tempat kerja yang sporadis; penggunaan narkoba; menolak pekerjaan yang
mengakomodasi atau menerima mereka mengaku cacat "parsial"; dan sedikit, jika ada, memiliki masalah keuangan yang lama.10

Gambar 2. Differential Diagnosis Malingering1
Selain itu, orang yang berpura-pura mengalami kesulitan merinci gejala
mereka; mungkin penurunan kapasitas untuk bekerja tetapi peningkatan kemampuan
untuk menikmati kegiatan rekreasi; sering memiliki sejarah belum membaiknya
kondisi mereka dari waktu ke waktu; dan kurangnya bukti obyektif defisit
konsentrasi, kewaspadaan berlebihan, cepat marah, dan penghindaran (terutama menghindari topik
yang terkait dengan trauma selama wawancara), yang semuanya umum dialami dalam
kasus PTSD benar.19,20

Gambar 3. Guide to help distinguish malingering, factitious disorders,
somatoform disorders, and valid medical/psychiatric condtitions1
Malingered berbeda dari gangguan factitious dalam motivasinya nya dimana malingering dipicu oleh
hasrat yang sadar untuk memenuhi kebutuhan ekternal atau lingkungan dimana hal
ni bukan karena gangguan konduksi bila. Akhirnya kombinasi intrapsychic perlu
bermanifestasi sebagai hasrat yang hampir tidak bisa dipendam untuk berasumsi
peran sakit untuk memotivasi wanita dengan desepsi intentional.21

Gambar 4. Flow chart for suspicious
symptoms20

Gambar 5. Check points for
malingering21
F. PENATALAKSANAAN
Dalam menghadapi pasien semacam ini, sikap pemeriksa harus dipertahankan
senetral mungkin, dan hindari sikap konfrontatif. Berilah pasien semua cara
evaluasi dan kita bersikap sama seperti pada pasien lain. Sesungguhnya bila
pemeriksa menduga adanya kasus pura-pura, maka respon pertama pada pemeriksa
harus ingin mengadakan evaluasi klinis yang seksama, menyeluruh dan objektif
untuk membuktikan praduga pemeriksasan dan untuk menyingkirkan adanya penyakit
yang sesungguhnya. Walaupun pengamatan yang sepintas saja sudah dapat
menunjukkan perilaku yang tidak konsisten dengan keluhannya.5
Dokter harus menahan untuk tidak menunjukkan kecurigaan. Jika klinisi
menjadi marah (suatu respon yang umum pada orang yang berpura-pura), dapat
terjadi konfrontasi, dengan dua akibat: 1) Hubungan dokter-pasien mungkin
terputus, dan tidak memungkinkan intervensi positif lebih lanjut. 2) Pasien
akan lebih bertahan, dan pembuktian penipuan menjadi hampir tidak mungkin. Jika
pasien diterima dan tidak dicemari, pengamatan selanjutnya, saat pasien di
rawat di rumah sakit atau sebagai rawat jalan, mungkin mengungkapkan kecerdikan
gejala, yang secara konsisten ditunjukkan hanya jika pasien tahu jika dirinya
sedang diamati. 4,19

Mempertahankan hubungan dokter-pasien adalah berguna untuk diagnosis dan
terapi jangka panjang untuk pasien. Pemeriksaan yang cermat biasanya menemukan masalah
yang relevan tanpa perlu konfrontasi. Biasanya sangat baik menggunakan
pendekatan terapi intensif, seakan-akan gejalanya nyata. Gejala dapat dihilangkan
sebagai respons terapi, tanpa pasien menjadi kehilangan muka.4,20
Secara garis besar urutan evaluasi dan pengelolaan yang dapat kita
lakukan sebagai berikut:5
1.
Mulai dengan
anggapan bahwa keluhan adalah benar, dan singkirkan berbagai penyakit medik dan
psikiatrik.
2.
Harus waspada
bila ada pasien yang menampilkan diri dengan masalah medikolegal dan pasien
tidak pernah patuh dalam makan obat.
3.
Laksanakan
pemeriksaan laboratorium dan diagnostik lainnya sesuai dengan keluhan.
4.
Bila diduga
adanya pura-pura, pastikan bahwa segala sesuatu telah diperiksa tanpa terlupa
sebelum berhadapan dengan pasien.
5.
Usahakan untuk
menegakkan diagnosis pastinya.
6.
Setelah semua
data terkumpul, beritahu pasien bahwa intervensi medik sebenarnya tidak ada.
Banyak pasien akan meninggalkan terapi saat itu. Beritahukan bahwa gejalanya
adalah suatu gaya menghadapi masalah yang ada dalam hidup pasien dan tawarkan
bantuan untuk mengatasinya.
7.
Jangan obati
suatu kondisi yang sebenarnya tidak ada atau terjebak untuk memenuhi tuntutan
sang berpura-pura untuk membenarkan satu diagnosis yang diinginkannya.
G. PROGNOSIS
Perilaku malingering biasanya bertahan selama keuntungan lebih besar
daripada ketidaknyamanan atau
tekanan
dalam mencari konfirmasi medis penyakit yang dipalsukan.11
BAB
III
KESIMPULAN
Malingering tidak
dipertimbangkan sebagai penyakit mental. DSM-V mendeksripsikan malingering sebagai perekayasaan masalah
fisik atau psikologikal dengan sengaja yang palsu atau sangat dilebih-lebihkan
dari yang sebenarnya. Motivasi untuk berpura-pura (malingering) biasanya
bersifat eksternal (misalnya menghindari tugas atau pekerjaan militer,
mendapatkan kompensasi finansial, menghindari prosekusi kriminal, atau
mendapatkan obat).
Prevalensi malingering tidak diketahui pasti,
walaupun beberapa klinisi percaya bahwa gangguan ini lebih sering terjadi
daripada yang diketahui. Berpura-pura sakit untuk mendapatkan kompensasi umum
terjadi pada pemeriksaan Social Security
Disability, yaitu sekitar 45.8%-59.7% dari kasus pada orang dewasa. Malingering harus di
investigasi dengan mencari fitur atau gejala dari empat domain berikut:
motivasi/keadaan, gejala, wawancara presentasi tuntutan, dan aktivitas/perilaku
di luar wawancara.
Hal ini juga penting
untuk melakukan investigasi psikososial, mengumpulkan informasi dari kerabat,
dan catatan masa lalu dari dokter perawatan primer, psikiater, dan manajer kasus.
Investigasi fisik, termasuk pemeriksaan darah lengkap, biokimia darah, skriningobat
dalam urin,
elektrokardiograf, dan electroencephalograph,
mungkin juga bisa mengungkapkan malingering. Tes psikometrik
spesifik yang bisa dilakukan misalnya Minnesota
Multiphasic Personality Inventory (MMSE), Structured Interview of
Reported Symptoms (SIRS), Miller Forensic Assessment
of Symptoms Test (M-FAST), Victoria Symptom Validity
Test (VSVT), Personality Inventory for Youth (PIY), Structured Inventory of Malingered Symptomatology (SIMS), Test of Memory Malingering (TOMM), Rey Auditory
Verbal Learning Test, Wisconsin Card Sorting Test (WCST), dan Trail-Making Test (TMT).1,12-3
Jika terdapat “kombinasi apa
saja” dari empat item berikut terdapat pada seorang pasien, dokter harus
mempertimbangkan kondisi malingering:10,11-2
1. Pasien berada
dalam konteks medikolegal (pengacara meminta bahwa pasien diperiksa untuk
gangguan mental atau terdapat tuntutan/investigasi kriminal mengenai kehadiran
pasien).
2. Perbedaan yang
jelas terlihat antara pasien yang mengklaim memiliki stres atau disabilitas dan
observasi dan temuan yang objektif.
3. Pasien
menunjukkan sikap tidak koperatif selama evaluasi diagnostik dan mengeluh
dengan regimen terapi yang diresepkan.
Diagnosis
yang dipertimbangkan sebagai diagnosis banding adalah factitious disorder atau gangguan buatan dan gangguan somatoform
dan konversi. bila pemeriksa menduga adanya kasus pura-pura, maka respon
pertama pada pemeriksa harus ingin mengadakan evaluasi klinis yang seksama,
menyeluruh dan objektif untuk membuktikan praduga pemeriksasan dan untuk
menyingkirkan adanya penyakit yang sesungguhnya. Perilaku malingering biasanya bertahan selama keuntungan lebih besar
daripada ketidaknyamanan atau
tekanan
dalam mencari konfirmasi medis penyakit yang dipalsukan.1,21
DAFTAR PUSTAKA
1.
Adetunji BA, Basil B,
Mathews M, Williams A, Osinowo T, Oladinni O. Detection and Management of Malingering in a Clinical Setting. Primary
Psychiatry. 2006;13(1):61-69.
2.
Tomb MD, David A.Malingering. In: Tiara M. editor. Buku Saku Psikiatri. Edisi IV.
Jakarta: EGC. 2004.
p.136
3.
Berry DTR, Nelson NW. DSM-5 and Malingering: a Modest Proposal. Psychol.
Inj. and Law. 2010.
4.
Kapplan HI, Sadock BJ,
Grebb JA. Sinopsis Psikiatri Jilid Dua. Tangerang: Binarupa Aksara. 2010. p.
107
5.
Kaplan HI, Sadock BJ. Pura-pura
(Malingering). In: Canero R, Chou JC editors. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya
Medika. 2004. p.332-4
6.
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fifth Edition, (DSM-5). Washington DC: American
Psychiatric Press Inc; 2013. 726.
7.
Sadock BJ,
Sadock VA. Malingering. In: dr.Husni
M editors. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi II. Jakarta: EGC. 2004. p.
163,286,415-6
8.
Chafetz M, Underhill J. Estimated costs of malingered disability. Arch
Clin Neuropsychol. 2013 Nov. 28(7):633-9.
9. Ahmadi
et al.: Malingering and PTSD: Detectingmalingering and war related PTSD by
Miller Forensic Assessment of Symptoms Test (M-FAST). BMC Psychiatry.
2013;13:154.
10. Ali
S, Jabeen S, Farzana A. Multimodal Approach to Identifying Malingered
Posttraumatic Stress Disorder: A Review. Innov Clin Neurosci.
2015;12(1-2):12-20.
11. Samuel
RZ, Mittenberg W.Determination of Malingering in Disability Evaluations. Primary Psychiatry. 2006;12(12):51-9.
12. Woods
DL, Wyma JM, Herron TJ, YundEW (2015) The Effects of Aging, Malingering, and
Traumatic Brain Injury on Computerized Trail-Making Test Performance. PLoS ONE
10(6): e0124345.
13. Egeland
J, Langfjaeran T. Differentiating malingering from genuine cognitive
dysfunction using the TrailMaking Test-ratio and Stroop Interference scores.
Appl Neuropsychol. 2007; 14(2):113–9.
14. Resnick
PJ, Knoll J. Faking it. How to detect malingered psychosis. Curr Psychiatry.
2005;4(11):13-25.
15.
Reid WH. Law and
Psychiatry “Malingering”. J Am Acad dermatol 2000;2(1):226-8.
16.
Andri
A. Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik. J Indon Med Assoc.
2011;61:375-9.
17.
Hadjam MNR. Peranan
Kepribadian dan Stres Kehidupan terhadap Gangguan Somatisasi. J Psikologi UGM.
2003;30(1):36-56.
18. Hanafi
SP, Dewi KS, Setyawan I. Hubungan Antara Self Regulated Learning Dengan
Gejala Gangguan Somatisasi Pada Mahasiswa Skripsi Fakultas Psikologi Universitas
Diponegoro Semarang. Empati. 2013;2(3):1-9.
19.
Hidayat D. Pelayanan
Kesehatan Jiwa dalam Praktik Umum. J Kedokteran Meditek. 2008.4(1):2-7.
20. Hidayati N. Bermain Khayal untuk Mengembangkan Dimensi
Sosioemosi Anak-Anak Prasekolah. J Insan Med Psikologi. 2012.2(3):34-6.
21. Sadock,
Benjamin J.; Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook
of Psychiatry, 8th Edition. p. 2243-52.
Comments
Post a Comment