Refrat
BEHAVIOUR DYSREGULATION
IN CHILDREN
(GANGGUAN PERILAKU PADA ANAK)
Oleh:
Lia Sakamole, SKed
BAB
I
PENDAHULUAN
Gangguan perilaku pada anak
(behavior dysregulation in children)
yaitu kegagalan usaha untuk menguasai regulasi yang merupakan kemampuan untuk
inhibisi dan aktivasi perilaku sebagai respon permintaan situasi yang terjadi
pada anak-anak.1 Sebagai bagian dari perkembangan normal mereka,
anak-anak terutama usia pre-sekolah sangat aktif, sering moody, dan agresif. Gangguan perilaku mengarah pada lingkup yang
luas terhadap masalah tingkah laku (conduct
disorder), seperti melawan, keras kepala, agresif dan perilaku impulsif
yang berkumpul bersama dan terjadi dengan angka yang lebih tinggi dari biasanya
pada anak pre-sekolah pada usia yang sama. Anak yang normal menunjukkan banyak
masalah perilaku yang terdapat pada gangguan perilaku (disruptive behavior), namun masalah perilaku mereka lebih sedikit
dan terjadi dengan frekuensi yang lebih kurang daripada gangguan perilaku disruptive.2
Di Indonesia sendiri, walau
belum ada angka yang pasti, namun jumlah anak yang terlibat kejahatan hukum dan
kenakalan dapat diprediksikan bahwa cukup banyak anak yang dapat dikatakan
mengalami gangguan perilaku. Pada tahun 1987, Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat sebanyak 4000 tersangka berusia di bawah 16 tahun diajukan ke
pengadilan dan yang kasusnya tidak diajukan lebih banyak lagi. Jumlah ini terus
bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2002 BPS juga mencatat jumlah kenakalan
anak sebanyak 193.115 kasus, namun seperti fenomena gunung es, diduga angka
kenakalan dan permasalahan sosial lainnya sebenarnya berjumlah 10 kali lipat.Banyaknya
jumlah anak yang mengalami gangguan perilaku perlu mendapat perhatian yang
serius untuk segera diberikan intervensi yang tepat. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa gangguan perilaku ini berdampak sangat merugikan, tidak hanya
bagi anak-anak dan remaja yang mengalaminya tetapi juga bagi masyarakat.3,4
Gangguan
perilaku pada anak biasanya akan dapat diidentifikasi dan tampak jelas pada
usia sekolah. Bagi anak-anak usia sekolah peran mereka diharapkan menjadi murid
yang memiliki perilaku yang memadai (be
adequately performing students). Di sekolah anak dihadapkan pada situasi
sosial dan tugas pembelajaran di sekolah, dan di sanalah akan muncul gejala
awal dari gangguan perilaku. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku memiliki
karakteristik kompleks dan seringkali ciri-ciri perilakunya juga dilakukan oleh
anak-anak sebaya lain, seperti banyak bergerak, mengganggu teman sepermainan,
perilaku melawan, dan adakalanya perilaku menyendiri. Anak dengan gangguan
emosi dan perilaku dapat ditemukan diberbagai komunitas anak-anak, seperti play group, sekolah dasar, dan
lingkungan bermain. Anak yang mengalami gangguan perilaku menunjukkan perilaku
antara lain; permusuhan, menyalahkan orang lain, mengganggu dan perilaku agresif
baik verbal maupun nonverbal.4,5
Gangguan
pada anak-anak ini seringkali dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu
eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi memiliki dampak
langsung atau tidak langsung terhadap orang lain, contohnya perilaku agresif,
membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri dan kurangnya kendali diri. Tipe
ini termasuk berbagai kategori DSM-IV-TR, yaitu ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) atau gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktifitas (GPPH), gangguan tingkah laku (Conduct Disorder), dan gangguan sikap
menentang (Oppositional Defiant Disorder).
Gangguan internalisasi ditandai dengan pengalaman dan perilaku yang lebih
terfokus ke dalam diri seperti depresi, menarik diri dari pergaulan sosial, dan
kecemasan, termasuk ansietas dan mood di masa anak-anak.6,7
BAB
II
TINJUAN
PUSTAKA
A. DEFINISI
Gangguan perilaku yaitu
gangguan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial yang disebabkan oleh
lemahnya kontrol diri, juga merupakan kasus yang banyak terjadi pada anak-anak.
Kadzin (dalam Carr, 2001) menyebutkan bahwa seluruh anak-anak yang dirujuk
karena mengalami gangguan klinis, sepertiga sampai setengah diantaranya karena
mengalami gangguan perilaku. Bahkan pada populasi yang bukan klinis, ditemukan
bahwa 50% atau lebih anak usia 4-5 tahun telah menunjukkan gejala gangguan
perilaku eksternal yang dapat berkembang menjadi gangguan perilaku tetap.3,4
Gangguan perilaku bisa
muncul pada hampir semua tahapan usia dengan karakteristik khasnya
masing-masing, dari taraf yang paling ringan hingga yangberat.Gangguan
perilaku menurut APA adalah pola perilaku signifikan secara klinis yang terjadi
padaindividu, yang dikaitkan dengan adanya distres atau kegagalan atau
adanyapeningkatan resiko kematian, kesakitan, ketidakmampuan atau
hilangnyakebebasan. Biasanya kondisi ini berpengaruh pada kemampuan individu
untukberadaptasi dengan berbagai aspek dalam kehidupannya.
Indikator-indikatorgangguan perilaku antara lain berupa: hambatan perkembangan,
kemunduranperkembangan, frekuensi dan intensitas perilaku yang terlalu tinggi
atau rendah,perubahan perilaku yang tiba-tiba, perilaku yang tidak sesuai
dengan situasi,gangguan perilaku yang parah, perilaku yang secara kualitatif
berbeda dari kondisi normal.8Gangguan perilaku dapat terjadi pada angka yang sama
penyakit kronik sebagai anak-anak yang sehat, dan meskipun anak-anak dengan
perkembangan disabilitas memiliki angka yang lebih tinggi terhadap gangguan
perilaku daripada yang lainnya, skor mereka pada pengukuran gangguan perilaku
daripada yang lain. Skor mereka pada pemeriksaan gangguan tingkah laku masih di
bawah batas normal rata-rata.2
Secara definitif anak dengan
gangguan emosi dan perilaku adalah anak yang mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang
berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya sehingga
merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan
pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.5
Menurut Kearney (2006), gangguan perilaku mengacu pada bentuk dan fungsi
periaku pada anak yang melibatkan variabel-variabel lain secara menyeluruh,
yaitu variabel keluarga (konfilik dalam keluarga, kekerasan atau pengabaian,
sikap negatif orang tua), pemfungsian anak sehari-hari, maupun standar perilaku
normal.8
B. PENYEBAB
Gangguan perilaku merupakan
gangguan yang bersifat kompleks dan dipengaruhi beberapa faktor yang saling
berinteraksi yaitu:3
a)
Faktor
biologis individu
Ada beberapa kondisi
biologis yang mempengaruhi kerentanan anak untuk mengalami gangguan perilaku.
Misalnya temperamen anak, faktor hormonal yaitu peningkatan testosterone,
terutama gangguan perilaku yang onsetnya masa remaja.
b)
Faktor
keluarga
Menurut Frick ada beberapa
disfungsi keluarga yang member konstribusi pada timbulnya gangguan perilaku
yaitu penyesuaian orang tua, situasi perkawinan, dan proses sosialisasi. Faktor
lain yang mempengaruhi perilaku anak adalah pola asuh orang tua dan
lingkungannya. Pola asuh yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan
dengan karakteristik anak yang impulsif, agresif dan memiliki keterampilan
sosial yang rendah. Sedangkan anak yang orang tuanya otoriter cenderung
menunjukkan dua kemungkinan yaitu berperilaku agresif atau menarik diri.
Beberapa variable demografi keluarga seperti tingkat status sosial ekonomi yang
rendah, orang tua tunggal, ukuran keluarga, dan jumlah saudara, juga dapat
meningkatkan resiko anak mengalami gangguan perilaku.
c)
Faktor
lingkungan
Lingkungan di luar keluarga
yang terutama berperan bagi perkembangan perilaku anak adalah teman sebaya,
lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang ditolak dan
memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan
agresivitas sebagai strategi interaksi. Sementara anak-anak yang agresif dan
memiliki perilaku antisosial akan ditolak oleh teman sebaya yang memiliki
perilaku sama seperti mereka, yang justru akan memperparah perilaku mereka.
Pengalaman negative di
sekolah juga berisiko menimbulkan gangguan perilaku pada anak. Lingkungan
tempat tinggal, jaringan sosial, serta kejahatan politik juga berperan bagi
perkembangan moral dan perilaku anak. Kesulitan akademik, tekanan yang
berlebihan dari orang tua, serta respon guru yang kurang tepat terhadap
perilaku dan prestasi mereka yang rendah akan menimbulkan perilaku pada anak.
Selain itu, kurangnya dukungan sosial dari sekolah terhadap anak-anak.
C. KARAKTERISTIK
Heward dan Orlansky (1988)
dalam Sunardi (1996) mengatakan seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku
apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik berikut dalam kurun
waktu yang lama:
1.
Ketidakmampuan
untuk belajar bukan disebabkan oleh faktor intelektualitas, alat indra maupun
kesehatan.
2.
Ketidakmampuan
untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam menjalin hubungan dengan teman
sebaya dan pendidik.
3.
Tipe
perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal.
4.
Mudah
terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi.
5.
Kecenderungan
untuk mengembangkan gejala-gejala fisik atau ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan
dengan permasalahan-permasalahan peribadi atau sekolah.
Gejala gangguan emosi dan
perilaku biasanya dibagi menjadi dua macam, yaitu externalizing behavior (perilaku eksternalisasi) dan internalizing behavior (perilaku
internalisasi). Perilaku eksternalisasi memiliki dampak langsung atau tidak
langsung pada orang lain, contohnya perilaku agresif, membangkang, tidak patuh,
berbohong, mencuri dan kurangnya kendali diri.5 Secara teoritikal
dalam penelitian Olson et al (2013) subdimensi yang bermakna dari externalizing behavior yang dapat
diekstraksi dari skor pemeriksaan masalah eksternalisasi anak yang paling luas
digunakan yaitu the
Child Behavior Checklist adalah: oppositional defiant behavior atau perilaku membangkang/melawan, overt aggresion atau perilaku agresif
yang jahat, covert aggression atau
perilaku agresif yang tersembunyi, impulsivity/inattention
atau impulsif/tidak bisa konsentrasi, danemotion
dysregulation atau disregulasi emosi.9 The Achenbach Rating Scales (misalnyaChild Behavior Checklist; CBCL) (Achenbachand Rescorla 2001) telah
digunakan secara luas pada penelitian anak dan remaja dengan berbagai tipe
psikopatologi yang bervariasi.
Perilaku internalisasi
mempengaruhi anak dengan berbagai macam gangguan seperti kecemasan, depresi,
menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan, dan kecenderungan untuk
bunuh diri. Kedua tipe tersebut memiliki pengaruh sama buruknya terhadap
kegagalan belajar di sekolah. Anak dengan gangguan ini, menunjukkan perilaku
immature (tidak matang atau kekanak-kanakan) dan menarik diri. Mereka juga
mengalami keterasingan sosial, hanya memiliki beberapa orang teman, jarang
bermain dengan anak seusianya, dan kurang memiliki keterampilan sosial yang
dibutuhkan untuk bersenang-senang. Beberapa diantaranya mengasingkan diri untuk
berkhayal dan melamun, merasakan ketakutan yang melampaui keadaan sebenarnya,
mengeluhkan rasa sakit yang sedikit dan membiarkan “penyakit” mereka terlibat
dalam aktivitas normal. Ada diantara mereka yang mengalami regresi yaitu
kembali pada tahap-tahap awal perkembangan dan selalu meminta bantuan dan
perhatian, dan beberapa diantaranya menjadi tertekan (depresi) tanpa alasan
yang jelas.5,6
Moore
(1982) menyebutkan bahwa untuk memudahkan pemahaman tentang konsep gangguan
perilaku karena ruang lingkupnya cukup luas, maka gangguan perilaku ini dapat
dikelompokkan daam tiga bentuk yang sesuai dengan perkembangan usia anak,
yaitu:3
a) Masalah
kontrol, secara umum ditandai dengan ketidakmatangan perilaku seperti tidak
patuh, temper tantrum, mengangis
secara berlebihan, tingkat aktivitas yang tinggi, dan suka membantah. Biasanya
terjadi pada anak usia muda;
b) Perilaku
agresif, ditandai dengan sering melakukan penyerangan fisik dan verbal.
Bentuknya antara lain sering berkelahi, menyakiti orang lain secara verbal,
suka menentang atau membantah otoritas, dan mengancam. Biasanya ini mulai
muncul pada usia 4 sampai 6 tahun;
c) Perilaku
yang menunjukkan kenakalan/kejaharan, seperti bolos, mencuri, merusak, lari
dari rumah, menggunakan obat-obatan, dan tindakan kriminal lainnya. Biasanya
terjadi pada usia 11 sampai 18 tahun.
Berdasarkan DSM-IV (American Psychiatric
Association, 1994), gangguan perilaku ini terdiri dari dua bentuk yaitu conduct disorder dan oppositional defiant disorder. Menurut
Carr (2001), perbedaan kedua gangguan ini terletak pada tingkat keparahannya
dimana conduct disorder lebih parah
daripada oppositional defiant disorder.
Carr (2001) menyajikan karakteristik kedua gangguan perilaku tersebut pada tabel
di bawah ini (Tabel 1).
A. KLASIFIKASI
Berdasarkan
DSM-IV (American Psychiatric Association, 1994), gangguan perilaku ini terdiri
dari dua bentuk yaitu conduct disorder
dan oppositional defiant disorder.11,2
DSM-IV-TR gangguan perilaku termasuk oppositional
defiant disorder, conduct disorder dan
suggested cross-references seperti ADHD (attention deficit hiperactivity disorder).7
1. Gangguan
Menentang Oposisional (Oppositional
Defiant Disorder)
Gangguan
menentang oposisional adalah suatu pola negativistic, permusuhan, dan perilaku
menentang yang terus-menerus tanpa adanya pelanggaran yang serius terhadap
norma sosial atau hak orang lain. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders edisi keempat (DSM-IV) mendefinisikan gangguan sama seperti definisi
DSM-III-R dengan sedikit modifikasi berikut.12-3
Gejala
yang sering dari gangguan menentang oposisional adalah sebagai berikut:
seringkali kehilangan kendali, sering berdebat dengan orang tua, secara aktif
menentang atau menolak mematuhi permintaan atau peraturan orangtua, sering
dengan sengaja melakukan hal lain untuk mengganggu orang lain, dan sering
menyalahkan orang lain karena kesalahannya.12-3
Dalam
DSM-IV-TR didefinisikan bahwa gangguan tingkah laku atau conduct disorder adalah
pola perilaku yang tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma
susila. Dalam bukunya Tingkah Laku Abnormal, Linda De Clerg
mengemukakan bahwa istilah gangguan tingkah laku atau conduct disorder mengacu
pada pola perilaku antisosial yang bertahan yang melanggar hakhak orang lain
dan norma susila. Charles Wenar dan Patricia Kerig dalam bukunya Development
Psychopathology from Infancy Though Adolescence mengemukakan bahwa
kriteria conduct disorder dalam DSMIV- TR yaitu aggression to people
and animal (agresi terhadap orang lain dan hewan), destruction of
property (menghancurkan kepemilikan), deceitfulness or theft (berbohong
atau mencuri) and serious violations of rules (pelanggaran aturan yang
serius).11,5
3. Gangguan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (ADHD)
Attention
deficit hyperactive disorder (ADHD) merupakan salah
satu jenis kondisi berkebutuhan khusus yang termasuk dalam gangguan perilaku.
ADHD adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anak-anak
hingga menyebabkan aktivitas anak-anak yang cenderung berlebihan. ADHD ditandai
oleh aktivitas motorik mengulang kelas, dan 30% – 40% berlebih dan
ketidakmampuan untuk ditempatkan di sekolah khusus. Selain itu, memfokuskan
perhatian (Nevid, 2005). Anak- sekitar 46 % anak ADHD diasingkan dari anak
dengan gangguan demikian harus segera sekolah dan lebih dari 30 % putus sekolah
dan diberi penanganan yang tepat agar tidak menyelesaikan sekolah menengah
atas. gangguannya tidak berlanjut ke usia remaja Anak dengan ADHD akan sulit
untuk bahkan dewasa.16,7
Gangguan
defisit atensi/hiperaktivitas (ADHD) ditandai dengan rentang perhatian yang
buruk yang tidak sesuai dengan perkembangan atau ciri hiperaktivitas dan
impulsivitas atau keduanya yang tidak sesuai dengan usia. Untuk memenuhi
kriteria diagnostik gangguan harus ada sekurang-kurangnya enam bulan, dan
menyebabkan gangguan fungsi dalam akademik atau sosial, dan terjadi sebelum
usia 7 tahun.16,7
B. EPIDEMIOLOGI
1.
Epidemiologi
Gangguan Menentang Oposisional
Perilaku oposisional dan
negativistik mungkin normal secara perkembangan pada masa kanak-kanak awal.
Penelitian epidemiologis terhadap sifat negativistic pada populasi nonklinis
menemukan gangguan antara 16% sampai 22% anak usia sekolah. Walaupun pada
gangguan menentang oposisional dapat dimulai seawal usia 3 tahun, biasanya
dimulai pada usia 8 tahun dan biasanya tidak lebih dari masa remaja. Gangguan
lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan sebelum pubertas,
dan rasio jenis kelamin kemungkinan sama setelah pubertas. Tidak ada pola yang
jelas tetapi hampir semua orangtua anak-anak dengan gangguan menentang
oposisional adalah terlalu memperhatikan masalah kekuasaan, control, dan
otonomi. Beberapa keluarga memiliki anak yang bandel, ibu yang mengendalikan
dan depresif, serta ayah yang pasif-agresif. Pada banyak kasus pasien merupakan
anak yang tidak diinginkan.13,9
2.
Epidemiologi
Gangguan Konduksi Tingkah Laku
Gangguan konduksi adalah
sering ditemukan selama masa remaja dan masa anak-anak. Diperkirakan 6 sampai
16 persen anak laki-laki dan 2 sampai 9 persen anak perempuan dibawah usia 18
tahun memiliki gangguan. Gangguan lebih sering di antara anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan, dan rasio terentang dari 4 berbanding 1 sampai 12
berbanding 1. Gangguan konduksi adalah lebih sering pada anak-anak yang orang
tuanya memiliki gangguan kepribadian antisocial dan ketergantungan alcohol
dibandingkan pada populasi umum. Prevalensi gangguan konduksi dan perilaku
antisosial adalah secara bermakna berhubungan dengan faktor sosioekonomi.13,7
3.
Epidemiologi
ADHD
Berdasarkan
beberapa hasil riset di Amerika
yang dilakukan oleh Barkley et al, terdapat 56% anak ADHD yang memerlukan pembelajaran privat,
30 % selalu mengulang kelas, dan 30% – 40% ditempatkan di sekolah khusus.
Selain itu, sekitar 46% anak ADHD diasingkan dari sekolah dan lebih dari 30%
putus sekolah dan tidak menyelesaikan sekolah menengah atas. Anak dengan ADHD
akan sulit untuk mengembangkan kemampuan emosionalnya dan selamanya mereka akan
selalu menghadapi persoalan dalam mengatasi kemarahan, agresi, tekanan dan
ketertarikan. Keadaan ini akan membuat anak penderita ADHD selalu berada di
posisi oposisional yang selalu menentang dan mengacaukan suasana serta menjadi
sumber konflik yang menyusahkan.18,20
C. DIAGNOSIS
DAN GAMBARAN KLINIS
1.
Diagnosis
dan Gambaran Klinis Gangguan Menentang Oposisional
Kriteria diagnostik untuk gangguan menentang oposisional menurut DSM-IV
yaitu:17,21
a.
Pola
perilaku negativistic, bermusuhan, dan menentang yang berlangsung sekurangnya 6
bulan, selama mana terdapat empat (atau lebih) berikut ini:
1)
Sering
hilang kendali kemarahan
2)
Sering
berdebat dengan orang tua
3)
Sering
secara aktif mengabaikan atau menolak patuh dengan permintaan atau peraturan
orang tua
4)
Sering
secara sengaja mengganggu orang lain
5)
Sering
menyalahkan orang lain atas kesalahan atau kekeliruannya
6)
Sering
mudah tersinggung atau mudah diganggu oleh orang lain
7)
Sering
marah dan membenci
8)
Sering
mendengki dan ingin membalas dendam
b.
Gangguan
dalam perilaku menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial, akademik
atau pekerjaan.
c.
Perilaku
tidak terjadi semata-mata selama perjalanan suatu gangguan psikotik atau
gangguan mood.
d.
Tidak
memenuhi kriteria untuk gangguan konduksi dan, jika individu adalah 18 tahun
atau lebih, tidak memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian antisosial.
2.
Diagnosis
dan Gambaran Klinis Gangguan Konduksi
American Psychiatric
Association, mengemukakan beberapa kriteria conduct disorder dari
masing-masing kategori conduct disorder sebagai berikut: Pertama, conduct
disorder merupakan pola prilaku yang repetitive dan persisten yang ditandai
oleh adanya pelanggaran hak-hak dasar. Setidaknya 3 dari hal-hal berikut muncul
dalam 12 bulan terakhir, seperti : aggression to people and animals (agresi
terhadap orang dan hewan), misalnya: (1) sering melakukan bully, ancaman,
mengintimidasi orang lain, (2) sering memulai petengkaran fisik, (3)
menggunakan senjata yang dapat menyebabkan bahaya fisik terhadap orang lain
(misalnya tongkat, botol pecah, pisau, pistol), (4) melakukan kekejamna fisik
terhadap orang lain, (5) melakukan kekejaman fisik terhadap hewan, (6) mencuri
sambil mengkonfrontasi korban (misalnya pencopetan, perampokan bersenjata), (7)
me-maksa seseorang untuk melakukan aktivitas seksual, atau destruction of
property (mela-kukan pengrusakan barang), misalnya: (8) mela-kukan
pembakaran secara sengaja dengan tujuan untuk menghasilkan kerusakan yang
serius, (9) melakukan pengrusakan barang atau benda secara sengaja. Atau deceitfulness
or theft (melakukan penipuan atau pencurian), misalnya: (10) masuk secara
paksa ke dalam rumah, bnagunan atau mobil, (11) sering berbohong untuk
memperoleh barang atau jasa atau untuk menghindari kewajiban (misalnya mengutil
namun tanpa merusak), (12) mencuri tanpa konfrontasi. Atau serious
violations of rules (melakukan
pelanggaran aturan yang serius), misalnya: (13) sering keluar rumah pada malam hari
meskipun dilarang, yang dimulai pada usia 13 tahun, (14) melarikan diri dari
rumah pada
malam hari setidaknya 2
kali selama tinggal di rumah orang tua atau orang tua asuh (atau satu kali
tanpa kembali ke rumah untuk janga waktu lama), (15) sering bolos dari sekolah
yang di
mulai sebelum usia 13
tahun.17,20-1
Kedua, gangguan perilaku tersebut menyebabkan kerusakan yang segnifikan
pada fungsi sosial, akademis atau pekerjaan. Dan ketiga, apabila individu
berusia 18 tahun atau lebih maka kriteria yang ditampilkan bukan kriteria
Conduct Disorder tetapi Antisocial
Personality Disorder.17,21-2
3.
Diagnosis
dan Gambaran Klinis ADHD
Kriteria diagnostik untuk gangguan ADHD menurut DSM-IV:13
a.
Salah
satu (1) atau (2):
1)
Inatensi:
enam atau lebih gejala inatensi berikut ini telah menetap selama sekurangnya
enam bulan sempai tingkat yang maladaptive dan tidak konsisten dengan tingkat
perkembangan:
a)
Sering
gagal memberikan perhatian terhadap perincian atau melakukan kesalahan yang
tidak berhati-hati dalam tugas sekolah, pekerjaan, atau aktivitas lain.
b)
Sering
mengalami kesulitan dalam mempertahankan atensi terhadap tugas atau aktivitas
permainan.
c)
Sering
tidak tampak mendengarkan jika berbicara langsung.
d)
Sering
tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas sekolah, pekerjaan,
atau kewajiban di tempat kerja
e)
Sering
mengalami kesulitan menyusun tugas dan aktivitas
f)
Sering
menghindari, membenci, atau enggan untuk terlibat dalam tugas yang memerlukan
usaha mental yang lama (seperti tugas sekolah atau pekerjaan rumah)
g)
Sering
menghindari hal-hal yang perlu untuk tugas atau aktivitas (misalnya tugas
sekolah, pensil, buku atau peralatan)
h)
Sering
mudah dialihkan perhatiannya oleh stimulasi luar
i)
Sering
lupa dalam aktivitas sehari-hari
2)
Hiperaktivitas-impulsivitas:
enam atau lebih gejala hiperaktivitas-impulsivitas berikut ini telah menetap
selama sekurangnya enam bulan sampai tingkat yang maladaptive dan tidak
konsisten dengan tingkat perkembangan:
Hiperaktivitas
a)
Sering
gelisah dengan tangan dan kaki atau menggeliat-geliat di tempat duduk
b)
Sering
meninggalkan tempat duduk di kelas atau dalam situasi lain dimana diharapkan
tetap duduk
c)
Sering
berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang tidak tepat
(pada remaja atau dewasa, mungkin terbatas pada perasaan subjektif kegelisahan)
d)
Sering
mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas waktu luang secara
tenang
e)
Sering
‘siap-siap pergi’ atau bertindak seakan-akan ‘didorong oleh sebuah motor’
f)
Sering
berbicara berlebihan
g)
Sering
menjawab tanpa piker terhadap pertanyaan sebelum pertanyaan selesai
h)
Sering
sulit menunggu gilirannya
i)
Sering
memutus atau mengganggu orang lain (misalnya memotong masuk ke percakapan atau
permainan)
b.
Beberapa
gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan gangguan telah ada
sebelum usia 7 tahun.
c.
Beberapa
gangguan akibat gejala ada selama dua atau lebih situasi (misalnya sekolah, pekerjaan
dan di rumah)
d.
Harus
terdapat bukti jelas adanya gangguan yang bermakna secara klinis dalam fungsi
sosial, akademik, atau fungsi pekerjaan.
e.
Gejala
tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan perkembangan pervasive,
skizofrenia, atau gangguan psikotik lain, dan tidak diterangkan dengan lebih
baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan mood, kecemasan, gangguan
disosiatif, atau gangguan kepribadian)
Meski
ADHD masa kanak-kanak tidak muncul sebagai bagian trayektori perkembangan
penyakit tipikal gangguan bipolar, masalah subyektif dengan atensi dapat
membentuk bagian perjalanan awal penyakit, sementara kelainan perkembangan
saraf mungkin lebih awal pada subgrup anak-anak risiko tinggi.23
D. TERAPI
a)
Terapi
Gangguan Menentang Oposisional
Terapi primer untuk gangguan
menentang oposisional adalah psikoterapi individual bagi anak-anak dan
konseling dan latihan langsung bagi orang tua dalam keterampilan menangani
anak. Ahli terapi mengajarkan orang tua bagaimana mengubah perilaku mereka
untuk menghentikan perilaku oposisional anak dan mendorong perilaku yang tepat.
Terapi perilaku berpusat pada dorongan dan pujian selektif terhadap perilaku
yang sesuai dan mengabaikan atau tidak mendorong perilaku yang tidak
diinginkan.
b)
Terapi
Gangguan Tingkah Laku
Program terapi
multimoladitas yang menggunakan semua kekuatan keluarga dan masyarakat yang
mungkin memberikan hasil terbaik dalam usaha mengendalikan perilaku gangguan
konduksi. Tidak ada terapi yang dianggap kuratif untuk keseluruhan spectrum
perilaku yang yang berperan dalam gangguan konduksi. Berbagai terapi
kemungkinan membantu untuk komponen tertentu dari gangguan kronik. Keluarga di
mana psikopatologi atau stressor lingkungan menghalangi orang tua untuk
mencapai teknik tersebut mungkin memerlukan pemeriksaan psikiatrik dan terapi
parental sebelum melakukan usaha keras tersebut.7,13
Lingkungan sekolah juga
dapat menggunakan teknik perilaku untuk mempermudah perilaku yang diterima
secara sosial terhadap teman sebaya dan untuk menghentikan kejadian antisosial
yang jelas. Psikoterapi individual berorientasi untuk meningkatkan keterampilan
memecahkan masalah dapat berguna, karena anak-anak dengan gangguan konduksi
mungkin memilih pola respon maladaptive terhadap situasi sehari-hari yang telah
berlangsung, semakin berakarnya gangguan.7,13
c)
Terapi
Gangguan ADHD
·
Farmakoterapi
Agen farmakologis untuk ADHD
adalah stimulant system saraf pusat, terutama dextreamphetamine (Dexedrine),
methylphenidate, dan pemoline (Cylert). Anti depresan termasuk imipramine
(Tofranil), desipramine, dan nortriptyline (Pamelor) telah digunakan untuk mengobati
ADHD dengan suatu keberhasilan. Clonidine juga telah digunakan dalam terapi
ADHD. Obat ini terutama berguna pada kasus dimana pasien juga menderita
gangguan TIK. Secara keseluruhan stimulant tetap menjadi pilihan pertama dalam
terapi farmakologis.7,13
·
Psikoterapi
Medikasi sendiri saja jarang
memuaskan kebutuhan terapeutik yang menyeluruh pada anak ADHD dan biasanya
hanya merupakan suatu segi dari regimen multimodalitas. Pada psikoterapi
individual, modifikasi perilaku, konseling orang tua, dan terapi tiap gangguan
belajar yang menyertai mungkin diperlukan. Jika anak-anak dengan ADHD dibantu
untuk menyusun lingkungannya, kecemasan mereka menghilang.7,13
BAB
III
PENUTUP
Gangguan perilaku pada anak (behavior dysregulation in children) yaitu kegagalan usaha untuk
menguasai regulasi yang merupakan kemampuan untuk inhibisi dan aktivasi
perilaku sebagai respon permintaan situasi yang terjadi pada anak-anak.
Gangguan perilaku merupakan gangguan yang bersifat kompleks dan dipengaruhi
beberapa faktor yang saling berinteraksi yaitu: faktor biologis individu,
faktor keluarga dan faktor lingkungan.
Gejala gangguan emosi dan perilaku biasanya dibagi
menjadi dua macam, yaitu externalizing
behavior (perilaku eksternalisasi) dan internalizing
behavior (perilaku internalisasi). Perilaku eksternalisasi memiliki dampak
langsung atau tidak langsung pada orang lain, contohnya perilaku agresif,
membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri dan kurangnya kendali diri. Perilaku
internalisasi mempengaruhi anak dengan berbagai macam gangguan seperti
kecemasan, depresi, menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan, dan
kecenderungan untuk bunuh diri. Kedua tipe tersebut memiliki pengaruh sama
buruknya terhadap kegagalan belajar di sekolah.
Berdasarkan
DSM-IV (American Psychiatric Association, 1994), gangguan perilaku ini terdiri
dari dua bentuk yaitu conduct disorder
dan oppositional defiant disorder.
Gangguan menentang oposisional adalah suatu pola negativistic, permusuhan, dan
perilaku menentang yang terus-menerus tanpa adanya pelanggaran yang serius
terhadap norma sosial atau hak orang lain. Sedangkan dalam DSM-IV-TR
didefinisikan bahwa gangguan tingkah laku atau conduct disorder adalah
pola perilaku yang tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma
susila.
Terapi primer untuk gangguan menentang oposisional
adalah psikoterapi individual bagi anak-anak dan konseling dan latihan langsung
bagi orang tua dalam keterampilan menangani anak. Ahli terapi mengajarkan orang
tua bagaimana mengubah perilaku mereka untuk menghentikan perilaku oposisional
anak dan mendorong perilaku yang tepat. Program terapi multimoladitas yang
menggunakan semua kekuatan keluarga dan masyarakat yang mungkin memberikan
hasil terbaik dalam usaha mengendalikan perilaku gangguan konduksi. Tidak ada
terapi yang dianggap kuratif untuk keseluruhan spectrum perilaku yang yang
berperan dalam gangguan konduksi. Berbagai terapi kemungkinan membantu untuk
komponen tertentu dari gangguan kronik.
Agen farmakologis untuk ADHD adalah stimulant system
saraf pusat, terutama dextreamphetamine (Dexedrine), methylphenidate, dan
pemoline (Cylert). Anti depresan termasuk imipramine (Tofranil), desipramine,
dan nortriptyline (Pamelor) telah digunakan untuk mengobati ADHD dengan suatu keberhasilan.
Clonidine juga telah digunakan dalam terapi ADHD. Obat ini terutama berguna
pada kasus dimana pasien juga menderita gangguan TIK. Secara keseluruhan
stimulant tetap menjadi pilihan pertama dalam terapi farmakologis. Medikasi
sendiri saja jarang memuaskan kebutuhan terapeutik yang menyeluruh pada anak
ADHD dan biasanya hanya merupakan suatu segi dari regimen multimodalitas. Pada
psikoterapi individual, modifikasi perilaku, konseling orang tua, dan terapi
tiap gangguan belajar yang menyertai mungkin diperlukan.
Daftar Pustaka
1. Reebye
PN, Elbe D. The Role of Pharmacotherapy in the Management of Self-Regulation
Difficulties in Young Children. Journal of the Canadian Academy of Child and
Adolescent Psychiatry. 2009;18(2):150-9.
2. Neary
EM. Management of Disruptive Behavior in Young Children. Inf Young Children.
2002;14(4):53-67.
3. Desvi
Y. Ketrampilan Sosial pada Anak Menengah Akhir Yang Mengalami Gangguan
Perilaku. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara. 2005.
4. Hairina
Y. Intervensi untuk Mengatasi Gangguan Perilaku Menentang Anak dengan Parent
Management Training. J Studi Gender dan Anak. 2013;1(1):81-9.
5. Mahabbati
A. Identifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku. J Pendidikan Khusus.
2006;2(2):101-8.
6. Mahabatti
A. Pendidikan Inklusif untuk Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku. J
Pendidikan Khusus. 2010;7(2):52-63.
7.
Thomas CR. Disruptive
Behaviour Disorders. In Sadock B, Sadock V. Kaplan and Sadock’s Comprehensive Textbook of
Psychiatry, Book 2, 8th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 3206-16.
8. Hertinjung WS, Partini. Gangguan Perilaku pada
Anak SD ditinjau dari Ekspresi Emosi Ibu. Dinamika Sosial Ekonomi.
2010;6(1):1-11.
9. Olson
SL, Sameroff AJ, Lansford JE, et al. Deconstructing the externalizing spectrum:
Growth patterns of overt aggression, covert aggression, oppositional behavior,
impulsivity/inattention, and emotion dysregulation between school entry and
early adolescence. Development and psychopathology.
2013;25(3):817-842.
10. Diler
RS, Birmaher B, Axelson D, et al. The Child Behavior Checklist (CBCL) and the
CBCL-Bipolar Phenotype Are Not Useful in Diagnosing Pediatric Bipolar
Disorder. Journal of Child and Adolescent Psychopharmacology.
2009;19(1):23-30.
11. Rehani.
Gangguan Tingkah Laku Pada Anak. Jurnal
Al-Ta’lim. 2012;1(3):201-8.
12. American Psychiatric Association: Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders, 4th ed. Text Revision (DSMIV-TR).
Washington (DC): American Psychiatric Association, 2000.
13. Kaplan HI, Sadock
BJ, Grebb J. Gangguan Perilaku
Mengacau.
Dalam: Sinopsis psikiatri, Jilid 2. Tangerang:
Binarupa Aksara; 2010. hal. 754-64.
14.
American
Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders:
DSM-V. 5th ed. Washington, DC: American Psychiatric Publishing; 2013.
15. White
SF, Fowler KA, Sinclair S, et al. Disrupted Expected Value Signaling in Youth
With Disruptive Behavior Disorders to Environmental Reinforcers. Journal of
the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry.
2014;53(5):579-588.
16. Kaplan HI, Sadock
BJ, Grebb J. Gangguan Defisit Atensi. Dalam: Sinopsis
psikiatri, Jilid 2. Tangerang: Binarupa Aksara;
2010. hal. 744-54.
17. Frick
PJ, Nigg JT. Current Issues in the Diagnosis of Attention Deficit Hyperactivity
Disorder, Oppositional Defiant Disorder, and Conduct Disorder.Annual review
of clinical psychology. 2012;8:77-107.
18.
Erinta D, Budiani MS. Efektivitas Penerapan Terapi Permainan
Sosialisasi Untuk Menurunkan Perilaku Impulsif Pada Anak Dengan Attention
Deficit Hyperactive Disorder (ADHD). J Psikologi Teori & Terapan. 2012;3(1):67-78.
19. Pardini
DA, Frick PJ, Moffitt TE. Building an Evidence Base for DSM 5 Conceptualizations
of Oppositional Defiant Disorder and Conduct Disorder: Introduction to the
Special Section. Journal of abnormal psychology. 2010;119(4):10.
20. Stoep
AV, Adrian MC, Rhew IC, McCauley E, Herting JR, Kraemer HC. Identifying
comorbid depression and disruptive behavior disorders: Comparison of two
approaches used in adolescent studies. Journal of psychiatric research.
2012;46(7):873-881.
21. Pardini
DA, Fite PJ. Symptoms of Conduct Disorder, Oppositional Defiant Disorder,
Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, and Callous-Unemotional Traits as
Unique Predictors of Psychosocial Maladjustment in Boys: Advancing an Evidence
Base for DSM-V. Journal of the American Academy of Child
and Adolescent Psychiatry. 2010;49(11):1134-1144.
22. Nemeroff
CB, Weinberger D, Rutter M, et al. DSM-5: a collection of psychiatrist views on
the changes, controversies, and future directions. BMC Medicine.
2013;11:202.
23. Duffy
A. The Nature of Association Between Childhood ADHD and the Development of
Bipolar Disorder: A Review of Prospective High-Risk Studies. Am J Psychiatry
2012;169:1247–55.
Comments
Post a Comment