PENDAHULUAN
Hematemesis diartikan sebagai muntah darah yang
dapat berwarna merah gelap, coklat atau hitam tergantung pada kadar asam
hidroklorida di dalam lambung dan campurannya dengan darah. Gejala ini
menunjukkan bahwa sumber perdarahan terletak pada saluran cerna bagian atas
yaitu bagian proksimal ligamentum treitz. Hematemesis dapat disebabkan oleh
antara lain ulkus peptikum, gastritis erosif, sindrom Mallory-weiss dan varises
esophagus.1,2
Di negara barat insidensi perdarahan akut Saluran Cerna Bagian
Atas (SCBA) mencapai 100 per 100.000 penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak
dari wanita.Insidensi ini meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Di bagian
penyakit dalam RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 1996-1998, pasien yang
dirawat karena perdarahan SCBA sebesar 2,5% - 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat.
Penyebab hematemesis ditegakkan melalui anamnesis dari riwayat penyakit pasien
termasuk obat-obatan yang dikonsumsi, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang, biasanya dilakukan endoskopi untuk melihat lokasi perdarahan secara
langsung namun pemeriksaan ini dapat dilakukan setelah hemodinamik pasien
stabil. Terapi hematemesis disesuaikan dengan etiologinya.1,2,3
Penyakit ginjal
kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus atau laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1.73 m2 dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.4 Etiologi PGK
antara lain penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS), hipertensi, DM
dan gout artritis.4,5
Gouty
arthritis (GA)
adalah kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat
pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di dalam cairan
ekstraseluler.6-8 Etiologi AP adalah
pembentukan asam urat yang berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat
sehingga terjadi deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraselular.6,8 Sendi dan ginjal adalah target utama
penumpukan dan kristalisasi garam asam urat. Asam urat di ginjal mengendap di
interstitium medular menyebabkan gagal ginjal progresif.9 Deposisi
kristal monosodium urat pada jaringan ini dapat memicu terjadinya inflamasi
sehingga pengobatan artritis gout dalam keadaan akut biasanya diberikan
obat-obat anti inflamasi. Mekanisme kerja obat anti inflamasi seperti obat anti
inflamasi non steroid (OAINS) akan menghambat siklooksigenase 2 untuk
menghambat proses inflamasi yang diperantarai prostaglandin.10 Prostaglandin
sendiri merupakan salah satu faktor defensif dari mukosa lambung sehingga efek
samping dari penggunaan OAINS jangka panjang akan meningkatkan resiko
terjadinya perdarahan pada traktus gastrointestinal.11
Berikut ini akan dibahas sebuah kasus pada seorang laki-laki
yang dirawat di bagian Interna BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dengan hematemesis e.c gastropati NSAID,
anemia e.c GIT bleeding, PGK ec nefropati NSAID dd HNS, hipertensi stage I,
hiperurisemia, dan gout artritis kronik.
KASUS
Seorang pasien Tn.JK, umur 46 tahun, suku Minahasa, alamat Ranotana
Lingkungan IV, status menikah, agama Kristen Protestan, pekerjaan supir angkot,
dirawat di BLU RSUP
P di instalasi rawat darurat medik (IRDM) pada tanggal 27
November yang selanjutnya dirawat di Irina C1.
Pada anamnesis
didapatkan keluhan utama muntah hitam. Muntah hitam dialami penderita sejak 1
hari sebelum dirawat. Muntah hitam dengan frekuensi 3 kali volume ±100cc. Nyeri ulu hati ada sejak 1 hari
sebelum dirawat hilang timbul, nyeri seperti terbakar dan tidak menjalar. Nafsu
makan dirasakan menurun serta lemah badan. Panas tidak ada, batuk tidak ada, sesak tidak ada.
Buang air besar dan buang air kecil biasa.
Penderita memiliki riwayat bengkak dan nyeri sendi sejak ± 5 tahun yang lalu, sering minum
obat penghilang nyeri yang dibeli sendiri hampir setiap kali nyeri. Riwayat
hipertensi sejak 2 tahun yang lalu, minum obat micardis 1 kali 80 mg. Riwayat penyakit ginjal sejak 2 tahun
yang lalu. Riwayat penyakit paru, hati, kencing manis dan kolesterol tidak ada.
Hanya penderita yang
sakit seperti ini dalam keluarga. Penderita
tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol.
Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tinggi
badan 169 cm, berat badan 75 kg, indeks massa tubuh 26,25 kg/m2, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 82 kali per
menit, respirasi 20 kali per menit, suhu aksila 36,0°C. Pada
pemeriksaan kepala rambut tidak rontok, konjungtiva anemis, sklera tidak
ikterik. Lidah tidak kotor, tonsil tidak membesar dan tidak terdapat peradangan
pada tenggorokan. Trakea letak di tengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening, tekanan vena jugularis 5 + 0 cm H2O, dan tidak ada distensi
vena-vena leher.
Pada pemeriksaan dada tampak simetris saat statis maupun
dinamis, stem fremitus kiri sama dengan kanan, sonor pada kiri dan kanan, batas
paru hati pada linea midklavikularis kanan sela iga VI, suara pernapasan
vesikuler, serta tidak ada ronki dan tidak
ada wheezing.
Pada pemeriksaan jantung, iktus kordis tidak tampak dan tidak teraba, batas
kiri jantung pada 3 cm lateral dari linea midklavikularis kiri sela iga V,
batas kanan jantung pada 1
cm lateral dari linea sternalis kanan sela iga IV. Suara jantung I dan II
normal, reguler, bising
tidak ada, gallop
tidak ada.
Pada pemeriksaan abdomen datar, lemas, turgor kulit kembali cepat, nyeri tekan
pada daerah epigastrium, hati tidak teraba, limpa tidak teraba, tidak ada pekak
berpindah dan bising usus normal. Pemeriksaan pada ekstremitas didapatkan tofi pada
regio olecranon bilateral, metacarpophalangeal dextra et sinistra, patella
sinistra, Achilles sinistra, plantar pedis dextra et sinistra dan
metatarsophalangeal I dextra et sinistra, tidak teraba hangat, tidak tampak merah dan tidak nyeri
pada penekanan.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal
27 Oktober 2014 di IRDM, MCH 28.8 pg, MCHC 34.8 g/dL, MCV 82.7 fl, leukosit 9.700/mm3,
eritrosit 2,26 106/mm3, Hb 6,5 g/dL, hematokrit 18,7%, trombosit 156.000/mm3,
GDS 113 mg/dL, kreatinin 5,3 mg/dL, ureum 171 mg/dL, natrium 133 mmol/L, kalium
4,0 mmol/L, klorida 89 mmol/L.
Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tersebut pasien
didiagnosis dengan hematemesis e.c gastropati NSAID, anemia e.c GIT bleeding
(6.05), PGK stage V ec nefropati NSAID dd HNS, hipertensi stage I, dan gout
artritis kronik. Pasien diterapi dengan
infus Nacl 0,9 % 14 tetes per menit, omeprazole 40 mg 2 kali sehari intravena, asam
traneksamat 3 kali 500 mg sehari intravena, ondansentron 8 mg 3 kali sehari
intravena, sukralfat sirup 2 sendok makan 3 kali sehari, micardis 80 mg 1 kali sehari
per oral, asam folat 3 kali sehari per oral dan transfusi PRC 1 kantong sehari sampai
Hb ≥ 9 g/dL (selang 1 hari), puasa untuk sementara waktu serta monitor urin output.
Rencana pengaturan diet penderita yaitu 0.8 gr protein per kilogram berat badan
per hari dan 30 kkal per kilogram berat badan per hari setelah GIT bleeding
berhenti. Penderita direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan SGOT, SGPT, kalsium,
magnesium, fosfat, asam urat, profil lipid, protein total, albumin, globulin,
urinalisis lengkap, blood smear, foto thorax PA, USG abdomen-ginjal dan EKG.
Pada hari ketiga perawatan,
keluhan muntah sudah tidak ada namun masih nyeri ulu hati. Pasien telah
transfusi 2 kantong PRC. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak
sakit sedang dengan kesadaran kompos mentis,
tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 66x/m, respirasi 20x/m, suhu aksila 36,2
0C. Pada pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva anemis, pemeriksaan abdomen
didapatkan nyeri tekan epigastrium. Pada
pemeriksaan ekstremitas
didapatkan multiple tofi. Pemeriksaan
foto thorax PA CTR < 50% dan EKG didapatkan hasil pemeriksaan dalam batas
normal. Pada hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 5.800/mm3,
eritrosit 2,79 106/mm3, Hb 8,5 g/dL, hematokrit 23%, trombosit 178.000/mm3,
GDS 112 mg/dL, protein total 5,1 g/dL, albumin 3 g/dL, globulin, 2,1 g/dL, kreatinin
7,2 mg/dL, ureum 139 mg/dL, asam urat 10,1 mg/dL, kolesterol total 182 mg/dL,
kolesterol HDL 34 mg/dL, kolesterol LDL 113 mg/dL, trigliserida 174 mg/dL,
natrium 147 mmol/L, kalium 4,77 mmol/L, klorida 112,2 mmol/L, kalsium 7,05
mg/dL, magnesium 1,5 mmol/L, fosfat 3 mmol/L. Pasien didiagnosis dengan post hematemesis e.c gastropati NSAID,
anemia e.c GIT bleeding (8.5), PGK stage V ec nefropati NSAID dd HNS, hipertensi
terkontrol, hiperurisemia, dan gout artritis kronik. Pasien diterapi dengan infus Nacl 0,9 % 14
tetes per menit, omeprazole 40 mg 2 kali sehari intravena, asam traneksamat 500
mg 3 kali sehari intravena, ondansentron 8 mg 3 kali sehari intravena, sukralfat
sirup 2 sendok makan 3 kali sehari, micardis 80 mg 1 kali sehari per oral, asam
folat 3 kali sehari per oral, allopurinol 100 mg 1 kali sehari per oral dan
transfusi PRC 1 kantong per hari sampai Hb ≥ 9 g/dL (selang 1 hari). Rencana pengaturan
diet penderita yaitu 0.8 gr protein per kilogram berat badan per hari, 30 kkal
per kilogram berat badan per hari, diberikan diet lambung 1 dingin serta
monitor urin output.
Pada hari keenam perawatan, keluhan
muntah darah dan nyeri ulu hati sudah tidak ada, pasien sudah ditransfusi 3 bag
PRC. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang dengan
kesadaran kompos mentis, tekanan
darah 130/80
mmHg, nadi 64x/m, respirasi 18x/m, suhu aksila 36,10C. Pada
pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva anemis, Pada
pemeriksaan ekstremitas
didapatkan multiple tofi. Pada
urinalisis didapatkan, warna kuning muda, kekeruhan jernih, epitel 4-5/lpk,
silinder (-), eritrosit 2-3/lpb, leukosit 1-2/lpb, berat jenis 1,005, pH 7,
leukosit negatif, nitrit negatif, protein 150 mg/dL, glukosa normal, keton
negatif, urobilinogen normal, bilirubin negatif, darah/eritrosit negatif. Pada
feses analisa didapatkan warna cokelat, konsistensi lembek, bau khas, darah
negatif, cacing negatif, eritrosit negatif,
leukosit negatif, epitel negatif, telur/larva cacing negatif, bakteri negatif,
jamur negatif.
Pasien didiagnosis dengan post
hematemesis
e.c gastropati NSAID, anemia e.c GIT bleeding, PGK stage V ec nefropati NSAID
dd HNS, hipertensi terkontrol, hiperurisemia, dan gout artritis kronik. Pasien diterapi dengan infus Nacl 0,9 % 14
tetes per menit, sukralfat sirup 2 sendok makan 3 kali sehari, micardis 80 mg 1
kali sehari per oral, asam folat 3 kali sehari per oral dan allopurinol 100 mg
1 kali sehari per oral, pengaturan diet penderita yaitu 0.8 gr protein per
kilogram berat badan per hari, dan 30 kkal per kilogram berat badan per hari. Pasien
direncanakan untuk periksa darah lengkap kontrol.
Pada hari ketujuh perawatan,
keluhan tidak ada. Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak cukup
dengan kesadaran kompos mentis, tekanan
darah 120/80
mmHg, nadi 68x/m, respirasi 22x/m, suhu aksila 36,00C. Pada pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva
anemis, Pada pemeriksaan ekstremitas
didapatkan multiple tofi. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 5.200/mm3,
eritrosit 3,26 106/mm3, Hb 9,8 g/dL, hematokrit 26,7%, trombosit 206.000/mm3.
Pasien didiagnosis dengan post
hematemesis
e.c gastropati NSAID, anemia e.c GIT bleeding, PGK stage V ec nefropati NSAID
dd HNS, hipertensi terkontrol, hiperurisemia, dan gout artritis kronik. Pasien diterapi dengan sukralfat sirup 2
sendok makan 3 kali sehari, micardis 80 mg 1 kali sehari per oral, asam folat 3
kali sehari per oral dan allopurinol 100 mg 1 kali sehari per oral. Pengaturan
diet penderita yaitu 0.8 gr protein per kilogram berat badan per hari, dan 30
kkal per kilogram berat badan per hari. Pasien direncanakan pulang untuk kontrol
di poliklinik rawat jalan.
PEMBAHASAN
Hematemesis diartikan sebagai muntah darah
yang dapat berwarna merah gelap, coklat atau hitam tergantung pada kadar asam
hidroklorida di dalam lambung dan campurannya dengan darah. Gejala ini
menunjukkan bahwa sumber perdarahan terletak pada saluran cerna bagian atas
yaitu bagian proksimal ligamentum treitz.1 Di negara
barat insidensi perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) mencapai 100
per 100.000 penduduk/tahun, laki-laki lebih banyak dari wanita. Insidensi ini
meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada kasus ini, pasien merupakan
laki-laki berusia 46 tahun, dan hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
mengatakan bahwa prevalensi laki-laki lebih banyak dari wanita dan meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia. Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di
populasi tidak diketahui.2
Dari
catatan medik pasien-pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam RS Hasan
Sadikin Bandung pada tahun 1996-1998, pasien yang dirawat karena perdarahan
SCBA sebesar 2,5% - 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bagian penyakit
dalam dengan penyebab terbanyak yaitu gastritis erosif akibat penggunaan obat
anti inflamasi.1-3 Pasien memiliki riwayat bengkak dan nyeri sendi
sejak ± 5 tahun yang lalu, sering minum obat penghilang nyeri. Kerusakan mukosa
lambung terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor defensif dan faktor
perusak. Epitel gaster mengalami iritasi terus menerus oleh 2 faktor perusak:
perusak endogen (HCl, pepsinogen/pepsin dan garam empedu) dan perusak eksogen
(obat-obatan, alkohol dan bakteri).12 Untuk penangkal iritasi
tersedia sistem biologi canggih, dalam mempertahankan keutuhan dan perbaikan
mukosa lambung bila timbul kerusakan. Sistem pertahanan mukosa gastroduodenal
terdiri dari 3 rintangan yakni pre epitel, epitel, post epitel/sub epitel.
Lapisan pre epitel berisi mukus bikarbonat bekerja sebagai rintangan
fisikokemikal terhadap molekul seperti ion hidrogen, mukus yang disekresi sel
epitel permukaan mengandung 95 % air dan campuran lipid dengan glikoprotein. Sel
epitel permukaan adalah pertahanan kedua dengan kemampuan menghasilkan mukus,
transportasi sel epitel serta produksi bikarbonat yang dapat mempertahankan pH
intraseluler (pH 6-7) dan sebagai intracellular
tight junction. Sistem mikrovaskular yang rapi di dalam lapisan sub mukosa
adalah komponen kunci dari pertahanan/perbaikan sistem sub epitel. Sirkulasi
yang baik yang dapat menghasilkan bikarbonat/HCO3 untuk menetralkan
HCl yang disekresi sel parietal, memberikan asupan mikronutrien dan oksigen
serta membuang hasil metabolik toksik. Prostaglandin (PG) yang banyak ditemukan
pada mukosa lambung, dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat memegang peran
sentral pada pertahanan dan perbaikan sel epitel lambung, menghasilkan
mukus-bikarbonat, menghambat sekresi sel parietal, mempertahankan sirkulasi
mukosa dan restitusi sel epitel. 12 Pada pasien ini
kerusakan mukosa gaster terjadi karena penggunaan obat-obat analgetik NSAID
yang menghambat siklooksigenase yang seharusnya menghasilkan prostaglandin yang
bersifat melindungi gaster.
Hematemesis dapat disebabkan oleh antara
lain ulkus peptikum, gastritis erosif, sindrom Mallory-weiss dan varises
esophagus. Kemungkinan pasien datang dengan anemia defisiensi besi akibat
perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama, hematemesis dan atau melena
disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa gangguan hemodinamik. Pemeriksaan
fisik perlu diperhatikan stigmata penyakit hati kronik, suhu badan dan
perdarahan di tempat lain, tanda-tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang
bisa disertai perdarahan saluran makanan, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada
sindrom Peutz-Jegher. 12 Pada
anamnesis didapatkan keluhan utama muntah darah yang dialami pasien sejak 1
hari SMRS. Muntah darah berwarna merah segar bercampur hitam dengan frekuensi 3
kali volume ± 100cc. Nyeri ulu hati ada sejak 1 hari SMRS hilang timbul,
nyeri seperti terbakar dan tidak menjalar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
konjungtiva anemis dan nyeri tekan epigastrium. Hal ini menunjang diagnosa
hematemesis yang diduga penyebab karena gastritis erosif yang diinduksi
obat-obatan (GEDI). Dari hasil laboratorium didapatkan hemoglobin 6,5 g/dL,
kreatinin 5,3 mg/dL, ureum 171 mg/dL, asam urat 10,1 mg/dL. Hal ini menunjang
diagnosa penyakit ginjal kronik stage V, anemia dan hiperurisemia.
Terapi perdarahan saluran cerna bagian
atas meliputi endoskopis dan non-endoskopis. Terapi endoskopis ditujukan pada
perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan pembuluh darah yang tampak.
Metodenya meliputi contact thermal (monopolar
atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe),
non contact thermal (laser), maupun
non thermal (adrenalin, polidokanol,
alkohol, cyanoacrylate atau pemakaian
klip. Pada pasien ini dilakukan terapi non endoskopis. Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan
adalah kumbah lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur
ini diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik,
namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti.
Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik adalah inhibitor pompa
proton dosis tinggi.13 Diawali bolus omeprazol
80 mg/iv kemudian dilanjutkan infus 8 mg/kgBB selama 72 jam. Pada pasien ini
diberikan injeksi omeprazol 2 kali 1 ampul intravena serta pemberian
sitoprotektif lambung berupa sukralfat sirup 4 kali 2 sendok makan. Didapatkan
pada hari kedua sudah tidak ada keluhan muntah darah.
Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien
hematemesis adalah koma hepatik, syok hipovolemik, aspirasi pneumoni dan anemia
posthemoragik.14 Pada pasien ini didapatkan Hb tanggal 27 Oktober
2014 di IRDM yaitu 6.5 g/dL, karenanya diberikan transfusi hingga Hb > 9
g/dL dengan selang sehari.
Pada penyakit ginjal
kronik, terjadi kerusakan pada jaringan ginjal sehingga lama kelamaan fungsi
diatas mulai terganggu. Penyakit ginjal kronik secara garis besar adalah suatu
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fugsi ginjal yang progresif, danpada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.15
Anemia sering terjadi
pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis. 80-90% pasien penyakit ginjal
kronik mengalami anemia. Penyebab anemia adalah multifaktorial antara lain
defisiensi besi, defisiensi asam folat, usia sel eritrosit yang memendek,
perdarahan kronik, inflamasi kronik, lingkungan uremik, hiperparatiroid,
keracunan aluminium, dan defisiensi produksi eritropoietin. Anemia mempunyai
dampak negatif berupa gangguan kardiovaskuler, meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, maka anemia pada PGK perlu dikelola dengan baik.16 Anemia
pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoietin. World Health Organization (WHO) mendefinisikan
anemia dengan komsentrasi hemoglobin < 13,0 gr/dl pada laki-laki dan wanita
postmenopause dan < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The European
Best Practice Guidelines untuk penatalaksanaan anemia pada
pasien-pasien penyakit ginjal kronik mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin
normal adalah 11,5 gr/dl pada wanita dan 13,5 gr/dl pada laki-laki ≤ 70 tahun
dan 12,0 gr/dl pada laki-laki > 70 tahun. The National Kidney
Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (K/DOQI)
merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik jika kadar hemoglobin
< 11,0 gr/dl (hematocrit < 33%) pada wanita premonopause dan pasien
prepubertas, dan <12,0 gr/dl (hematocrit < 37%) pada laki-laki dewasa dan
wanita postmeopause, sedangkan menurut Pernefri 2011, dikatan anemia pada
penyakit ginjal jika Hb ≤ 10 gr/dl dan Ht ≤ 30%.17,18 Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk
pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%, baik dengan pengelolaan
konservatif maupun dengan eritropoietin (EPO). Bila dengan terapi konservatif,
target Hb dan Ht belum tercapai dilanjutkan dengan terapi EPO. Dampak anemia
pada gagal ginjal terhadap kemampuan fisik dan mental dianggap dan
menggambarkan halangan yang besar terhadap rehabilitasi pasien dengan gagal
ginjal. Walaupun demikian efek anemia pada oksigenasi jaringan mungkin seimbang
pada pasien uremia dengan penurunan afinitas oksigen dan peningkatan cardiac output saat hematokrit dibawah
25 %. Walaupun demikian banyak pasien uremia memiliki hipertensi dan
miokardiopati. Karena tubuh memiliki kemampuan untuk mengkompensasi turunnya
kadar hemoglobin dengan meningkatnya cardiac
output. Selain itu banyak pasien memiliki penyakit jantung koroner yang
berat dan walaupun anemia dalam derajat sedang dapat disertai dengan miokardial
iskemik dan angina. Terapi anemia pada gagal ginjal bervariasi dari pengobatan
simptomatik melalui transfusi sel darah merah sampai ke penyembuhan dengan
transplantasi ginjal. Transfusi darah hanya memberikan keuntungan sementara dan
beresiko terhadap infeksi (virus hepatitis dan HIV) dan hemokromatosis
sekunder. Peran dari transfusi sebagai pengobatan anemi primer pada pasien
gagal ginjal terminal telah berubah saat dialisis dan penelitian serologic
telah menjadi lebih canggih.18,19,20,21
Transfusi darah diberikan sifatnya
individual pada pasien perdarahan saluran cerna bagian atas. Perdarahan masih
aktif atau sudah berhenti, lamanya perdarahan berlangsung, dan akibat klinik
perdarahan tersebut.13
Transfusi darah pada penyakit ginjal kronik dapat diberikan pada keadaan
khusus. Indikasi transfusi darah adalah, perdarahan akut dengan gejala gangguan
hemodinamik, tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL, Hb < 8
g/dL dengan gangguan hemodinamik, pasien dengan defisiensi besi yang akan
diprogram terapi EPO ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum
adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan
transfusi darah dengan hati-hati. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah
adalah: 7-9 g/dL (tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi
diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi, hiperkatabolik
(asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian
transfusi darah sampai kadar Hb 10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan
mortalitas dan tidak terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut
jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk transplantasi ginjal,
pemberian transfusi darah sedapat mungkin dihindari. Pada pasien ini diberikan
transfusi PRC 3 bag. 22, 23
Pada pasien CKD, terutama end-stage renal disease (ESRD), dapat
terjadi berbagai abnormalitas metabolisme protein dan asam amino, salah satunya
dapat terjadi peningkatan homosistein. Hiperhomosisteinemia adalah kondisi
medis yang ditandai dengan tingkat normal besar homosistein dalam darah.
Sebagai konsekuensi dari reaksi biokimia di mana homosistein yang terlibat,
kekurangan dari vitamin piridoksin (B6), asam folat (B9), atau B12 dapat
menyebabkan kadar homosistein yang tinggi. Suplementasi dengan piridoksin, asam
folat, B12, atau trimethylglycine (betain) mengurangi konsentrasi homosistein
dalam aliran darah. Hiperhomosisteinemia merupakan salah satu implikator
penting pada faktor risiko penyakit kardiovaskular pada pasien-pasien tersebut.24,25,26
Homosistein adalah asam amino alami, yang jika berada dalam kadar yang tinggi
dalam darah, dapat meningkatkan resiko
pembekuan darah. Kondisi ini dikenal dengan hiperhomosisteinemia. Orang dengan
hiperhomosistein bisa saja mendapatkan pembekuan darah di pembuluh darah vena
(seperti trombosis vena bagian dalam dan emboli paru) atau di arteri (misalnya
stroke dan serangan jantung). Hal ini dipercaya bahwa tingkat darah tinggi dari
homosistein dapat merusak lapisan pembuluh darah. Kerusakan inilah yang dapat
menyebabkan pembekuan darah. Selain dapat membuat seseorang rentan terhadap
pembekuan darah, hiperhomosisteinemia juga akan meningkatkan resiko cacat
lahir, demensia (misalnya penyakit Alzheimer), dan patah tulang.27,28 Oleh
karenanya, pada pasien ini diberikan asam folat 3 kali sehari.
KDIGO merekomendasikan pengaturan diet
ginjal harus memperhatikan tingkat keparahan CKD, pengaturan jumlah garam,
fosfat, kalium, dan intake protein. Pengaturan protein diatur 0.8 g/kg/hari
pada orang dewasa dengan diabetes atau tanpa diabetes dan GFR < 30
ml/menit/1.73 m² dengan edukasi yang tepat.22 Pada pasien ini
diberikan 0.8 g/kg/hari serta 30 kkal/kg/hari setelah GIT bleeding berhenti.
Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis
penderita seperti faktor umur, kadar hemoglobin, tekanan darah selama
perawatan, dan lain-lain. Angka kematian
penderita dengan perdarahan saluran cerna bagian atas dipengaruhi oleh faktor
kadar hemoglobin waktu dirawat, terjadi/tidaknya perdarahan ulang, keadaan
hati, seperti ikterus dan ensefalopati.13 Pada pasien ini terjadi
peningkatan kadar hemoglobin, tidak terdapat perdarahan ulang, keadaan hati
dalam batas normal, dan tidak terdapat penurunan tekanan darah yang signifikan.
Prognosis pasien ini dubia ad bonam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Siegenthaler W. Differential Diagnosis in
Internal Medicine: From Symptom to Diagnosis. New York: Thieme; 2007. H. 280
2.
Iselbacher
K,dkk.
Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam vol 1. Asdie EH,editor. Jakarta:
EGC. 1995. H. 259-62.
3.
Djumhana A. Perdarahan Akut Saluran
Cerna Bagian Atas. 2011. Available from: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2011/03/pendarahan_akut_
saluran_cerna_bagian_atas.pdf
4.
Suwira K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyobadi, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed. IV
Jilid I. Jakarta: interna publishing; 2006. h 570-73.
5. Lukela J.R. Management of chronic kidney disease. M
Faculty Group Practice University of Michigan. March 2014;1-25.
6.
Tehupeiory E.S. Atritis pirai (artritis
gout). Dalam: Sudoyo AW,
Setiyobadi, Alwi I, Simadibrata M, Setiati, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Ed. IV. Jilid II. Jakarta: interna publishing; 2006. h.
1208-10.
7. Albar Z. Gout: Diagnosis and management.
Rheumatology division, Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine,
Universitas of Indonesia. Medical journal of Indonesia. Jakarta:2007;1-7.
8. Zahara R. Artritis gout metacarpal dengan
perilaku makan tinggi purin diperberat oleh aktivitas mekanik pada kepala
keluarga dengan posisi menggenggam statis. Medula. Volume 1. Nomor 3.
Lampung:2013;1-10.
9. Driver CB, Shiel WC. Gout (gouty arthritis) [cited November 14, 2014].
Available from: http://www.medicinenet.com/gout_gouty_arthritis/article.html.
10. Constein BN, Sunkureddi P. Mechanistics
aspects of Inflammation and Clinical Management of Inflammation in Acute Gouty
Arthritis. J Clin Rheumatol. 2013; 19(1): 19-29
11. Wilkins T, Khan N, Nabh A, Schade RR.
Diagnosis and Management of Upper Gastrointestinal Bleeding. American Family
Physician. 2012; 85(5); 469-76
12. Tarigan P.
Tukak Gaster. In Siyohadi B, Idrus A, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 514-5
13. Pangestu A.
Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. In Siyohadi B, Idrus A,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing; 2009. p. 447-451
14. Mubin.
Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis Dan Terapi (2nd Ed.). Jakarta:
EGC.2006
15. Suwitra K.
Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM, Setiati S,
editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5nd ed. Jakarta: Interna Publishing;
2009.p.1035-40.
16. Effendi
Imam, Anemia pada penyakit ginjal kronik: Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting. p. 37-40
17. Suwitra K.
Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM, Setiati S,
editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5nd ed. Jakarta: Interna Publishing;
2009.p.1035-40
18. National
Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney
Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39:
suppl 1, 2002
19. Longo DL,
Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser AL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of internal medicine. 18th ed.
United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2012
20. MacGinley
RJ, Walker RG. International treatment guidelines for anaemia in chronic kidney
disease: what has changed?. MJA 22 July 2013; vol 199 (2)
21. Singh AK,
Szczech L, Tang KL, Barnhart H, Sapp S, Wolfson M, et al. Correction of anemia
with epoetin alfa in chronic kidney disease. N Engl J Med 2006; 355: 2085-98
22.
International Society of Nephrology. Kindey disease improving global outcome:
Clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney
International Supplements 2012; 2: 283-335
23. Singh AK,
Szczech L, Tang KL, Barnhart H, Sapp S, Wolfson M, et al. Correction of anemia
with epoetin alfa in chronic kidney disease. N Engl J Med 2006; 355: 2085-98
24. Ducloux D, Motte G, Challier B, Gibey R,
Chalopin JM. Serum total homocysteine and cardiovascular disease occurrence in
chronic, stable renal transplant recipients: a prospective study. J Am Soc
Nephrol 2000; 11: 134–137
25. Mallamaci F, Zoccali C, Tripepi G et al.
Hyperhomocysteinemia predicts cardiovascular outcomes in hemodialysis patients.
Kidney Int 2002; 61: 609–614
26. Winkelmayer WC, Kramar R, Curhan GC et al.
Fasting plasma total homocysteine levels and mortality and allograft loss in
kidney transplant recipients: a prospective study. J Am Soc Nephrol 2005; 16:
255–260
27. Suliman ME, Barany P, Kalantar-Zadeh K, Lindholm
B, Stenvinkel P. Homocysteine in uraemia – a puzzling and conflicting story.
Nephrol Dial Transplant 2005; 20: 16–21
28. Wollesen F, Brattstrom L, Refsum H, Ueland PM,
Berglund L, Berne C. Plasma total homocysteine and cysteine in relation to
glomerular filtration rate in diabetes mellitus. Kidney Int 1999; 55: 1028–1035
Comments
Post a Comment