PENYAKIT
JANTUNG HIPERTENSI (HHD)
BAB
I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang
berkaitan dengan dampak sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang
lama dan berkepanjangan. Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia
berkisar antara 5-10%. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya
atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik).
Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi
sekunder).1
Tekanan darah tingi adalah faktor resiko utama bagi penyakit
jantung dan stroke. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung
iskemik (menurunnya suplai darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri
dada atau angina dan serangan jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang
dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.2
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu
hal komplek yang melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu
hemodinamik, struktural, neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu
sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan
komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat
memodulasi faktor-faktor tersebut.3
Diagnosis penyakit jantung hipertensi didasarkan pada
riwayat,pengkuran tekanan darah, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat
lengkat dan pemeriksaan fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi,
menyaring faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular lain, menyaring
penyebab-penyebab sekunder hipertensi, mengidentifikasi konsekuensi
kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain, memeriksa gaya hidup
terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi. Pengukuran tekanan
darah yang terpercaya tergantung pada perhatian terhadap detail mengenai
tekhnik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini yang melarang
penggunaan merkuri karena perhatian mengenai toksisitas potensialnya, sebagian
besar pengukuran dibuat menggunakan instrumen aneroid. Akurasi instrumen
pengukur tekanan darah terotomatisasi harus dikonfirmasi. Pada pemeriksaan
fisis, Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada
pemeriksaan awal, tekanan harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada
posisi terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi
postural. Pada pemeriksaan laboratorium meliputi Urinalisis mikroskopik,
ekskresi albumin, BUN atau kreatinin serum, Natrium, kalium, kalsium, dan TSH
serum, Hematokrit, elektrokardiogram, Glukosa darah puasa, kolesterol total,
HDL dan LDL, trigliserida.
Penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi meliputi
perubahan gaya hidup (non farmakologi) dan terapi farmakologi
(Diuretik,penyekat sistem renin angiotensin, antagonis aldosteron,penyekat
beta, penyekat adrenergik, agen simpatolitik, penyekat kanal kalsium,
vasodilator direk (langsung).4
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik
spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel kiri dan memperpanjang
kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat penyakit jantung
hipertensi.2
BAB
II
PEMBAHASAN
II.1. Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang
berkaitan dengan dampak sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang
lama dan berkepanjangan. Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia
berkisar antara 5-10%. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya
atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau
idiopatik). Sejumlah 85-90 % hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau
disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau Idiopatik). Hanya
sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).
Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi
sekunder dan sangat tergantung di mana angka itu diteliti. Diperkirakan
terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder sedangkan di pusat rujukan dapat
mencapai sekitar 35%. Hampir semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2
mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan fungsi ginjal. Pasien
hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung (yang disebut
sebagai penyakit jantung hipertensi). Juga dapat menyebabkan strok, gagal
ginjal, atau gangguan retina mata.1,6
II.2. Etiologi
Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung,
dan seiring dengan berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot
jantung. Karena jantung memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh
darah yang meningkat, ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa
jantung setiap menitnya (cardiac output) berkurang. Tanpa terapi, gejala gagal
jantung akan makin terlihat.
Tekanan darah tinggi adalah faktor resiko utama bagi
penyakit jantung dan stroke. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit
jantung iskemik ( menurunnya suplai darah untuk otot jantung sehingga
menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan jantung) dari peningkatan
suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.
Tekanan darah tinggi juga berpenaruh terhadap penebalan
dinding pembuluh darah yang akan mendorong terjadinya aterosklerosis
(peningkatan kolesterol yang akan terakumulasi pada dinding pembuluh darah).
Hal ini juga meningkatkan resiko seangan jantung dan stroke. Penyakit jantung
hipertensi adalah penyebab utama penyakit dan kematian akibat hipertensi. Hal
ini terjadi pada sekitar 7 dari 1000 orang.2
II.3. Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu
hal komplek yang melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu
hemodinamik, struktural, neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu
sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan
komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat
memodulasi faktor-faktor tersebut. Peningkatan tekanan darah menyebabkan
perubahan yang merugikan pada struktur dan fungsi jantung melalui 2 cara:
secara langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui
nuerohormonal terkait dan perubahan vaskular. Peningkatan perubahan tekanan
darah dan tekanan darah malam hari dalam 24 jam telah dibuktikan sebagai faktor
yang paling berhubungan dengan berbagai jenis patologi jantung, terutama bagi
masyarakat Afrika-Amerika. Patofisiologi berbagai efek hipertensi terhadap
jantung berbeda-beda dan akan dijelaskan pada bagian ini.
Hipertrofi ventrikel kiri
Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% mengalami hipertrofi
ventrikel kiri (HVK). Risiko HVK meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas.
Prevalensi HVK berdasarkan penemuan lewat EKG(bukan merupakan alat pemeriksaan
yang sensitif) pada saat menegakkan diagnosis hipertensi sangatlah
bervariasi.Penelitian telah menunjukkan hubungan langsung antara derajat dan
lama berlangsungnya peningkatan tekanan darah dengan HVK.
HVK didefinisikan sebagai suatu penambahan massa pada
ventrikel kiri, sebagai respon miosit terhadap berbagai rangsangan yang
menyertai peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miosit dapat terjadi
sebagai kompensasi terhadap peningkatan afterload. Rangsangan mekanik dan
neurohormonal yang menyertai hipertensi dapat menyebabkan aktivasi pertumbuhan
sel-sel otot jantung, ekspresi gen (beberapa gen diberi ekspresi secara primer
dalam perkembangan miosit janin), dan HVK. Sebagai tambahan, aktivasi sistem
renin-angiotensin melalui aksi angiotensin II pada reseptor angiotensin I
mendorong pertumbuhan sel-sel interstisial dan komponen matrik sel. Jadi,
perkembangan HVK dipengaruhi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan
antara miosit dan struktur interstisium skeleton cordis.
Berbagai jenis pola HVK telah dijelaskan, termasuk
remodelling konsentrik, HVK konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konsentrik
adalah peningkatan pada ketebalan dan massa ventrikel kiri disertai peningkatan
tekanan dan volume diastolik ventrikel kiri, umumnya ditemukan pada pasien
dengan hipertensi. Bandingkan dengan HVK eksentrik, di mana penebalan ventrikel
kiri tidak merata namun hanya terjadi pada sisi tertentu, misalnya pada septum.
LVH konsentrik merupakan pertanda prognosis yang buruk pada kasus hiperetensi.
Pada awalnya proses HVK merupakan kompensasi perlindungan sebagai respon
terhadap peningkatan tekanan dinding ventrikel untuk mempertahankan cardiac
output yang adekuat, namun HVK kemudian mendorong terjadinya disfungsi
diastolik otot jantung, dan akhirnya menyebabkan disfungsi sistolik otot
jantung.
Abnormalitas Atrium Kiri
Sering kali tidak terduga, perubahan struktur dan fungsi
atrium kiri sangat umum terjadi pada pasien dengan hipertensi. Peningkatan
afterload membebani atrium kiri lewat peningkatan tekanan end diastolik
ventrikel kiri sebagai tambahan untukmeningkatkan tekanan darah yang
menyebabkan gangguan pada fungsi atrium kiri ditambah peningkatan ukuran dan
penebalan tarium kiri. Peningkatan ukuran atrium kiri pada kasus hipertensi
yang tidak disertai penyakit katup jantung atau disfungsi sistolik menunjukkan
kronisitas hipertensi dan mungkin berhubungan dengan beratnya disfungsi
diastolik ventrikel kiri. Sebagai tambahan, perubahan struktur ini menjadi
faktor predisposisi terjadinya atrial fibrilasi pada pasien-pasien tersebut.
Atrial fibrilasi, dengan hilangnya kontribusi atrium pada disfungsi diastolik,
dapat mempercepat terjadinya gagal jantung.
Penyakit Katup
Meskipun penyakit katup tidak menyebabkan penyakit jantung
hipertensi, hipertensi yang kronik dan berat dapat menyebabkan dilatasi cincin
katup aorta, yang menyebabkan terjadinya insufisiensi aorta signifikan.
Beberapa derajat perubahan perdarahan secara signifikan akibat insufisiensi
aorta sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol.
Peningkatan tekanan darah yang akut dapat menentukan derajat insufisiensi
aorta, yang akan kembali ke dasar bila tekanan darah terkontrol secara lebih
baik. Sebagai tambahan, selain menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi juga
diperkirakan dapat mempercepat proses sklerosis aorta dan menyebabkan regurgitasi
mitral.
Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan
tekanan darah yang kronik. Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif
seringkali tidak diketahui, sebagian karena saat gagal jantung terjadi,
ventrikel kiri yang mengalami disfungsi tidak mampu menghasilkan tekanan darah
yang tinggi, hal ini menaburkan penyebab gagal jantung tersebut. Prevalensi
disfungsi diastolik yang asimtomatik pada pasien dengan hipertensi dan tanpa
HVK (Hipertensi Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan afterload yang
kronis dan terjadinya HVK dapat memberi pengaruh buruk terhadap fase awal
relaksasi dan fase komplaien lambat dari diastolik ventrikel.
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan
hipertensi. Disfungsi diastolik biasanya, namun tidak tanpa kecuali, disertai
dengan HVK. Sebagai tambahan, selain peningkatan afterload, faktor-faktor lain
yang ikut berperan dalam proses terjadinya disfungsi diastolik adalah penyakit
arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik, dan abnormalitas struktur seperti
fibrosis dan HVK. Disfungsi sistolik yang asimtomatik biasanya juga terjadi.
Pada bagian akhir penyakit, HVK gagal mengkompensasi dengan meningkatkan
cardiac output dalam menghadapi peningkatan tekanan darah, kemudian ventrikel
kiri mulai berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output. Saat penyakit ini
memasuki tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri menurun. Hal ini
menyebabkan peningkatan lebih jauh pada aktivasi neurohormonal dan sistem
renin-angiotensin, yang menyebabkan peningkatan retensi garam dan cairan serta
meningkatkan vasokontriksi perifer. Apoptosis, atau program kematian sel,
distimulasi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara stimulan dan
penghambat, disadari sebagai pemegang peran pentingdalam transisi dari tahap
kompensata menjadi dekompensata. Pasien menjadi simptomatik selama tahap
asimtomatik dari disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel kiri, menerima
perubahan pada kondisi afterload atau terhadap kehadiran gangguan lain bagi
miokard (contoh: iskemia, infark). Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba
dapat menyebabkan edema paru akut tanpa perlu perubahan pada fraksi ejeksi
ventrikel kiri. Secara umum, perkembangan dilatasi atau disfungsi ventrikel
kiri yang asimtomatik maupun yang simtomatik melambangkan kemunduran yang cepat
pad status klinis dan menandakan peningkatan risiko kematian. Sebagai tambahan,
selain disfungsi ventrikel kiri, penebalan dan disfungsi diastolik ventrikel
kanan juga terjadi sebagai hasil dari penebalan septum dan disfungsi ventrikel
kiri.
Iskemik Miokard
Pasien dengan angina memiliki prevalensi yang tinggi
terhadap hipertensi. Hipertensi adalah faktor risiko yang menentukan
perkembangan penyakit arteri koroner, bahkan hampir melipatgandakan risiko.
Perkembangan iskemik pada pasien dengan hipertensi bersifat multifaktorial.
Hal yang penting pada pasien dengan hipertensi, angina dapat
terjadi pada ketidakhadiran penyakit arteri koroner epikardium. Penigkatan
aferload sekunder akibat hipertensi menyebabkan peningkatan tekanan dinding
ventrikel kiri dan tekanan transmural, menekan aliran darah koroner
selama diastole. Sebagai tambahan, mikrovaskular, diluar arteri koroner
epikardium, telah terlihat mengalami disfungsi pada pasien dengan hipertensi
dan mungkin tidak mampu mengkompensasi peningkatan metabolik dan kebutuhan
oksigen.
Perkembangan dan progresifitas aterosklerosis, merupakan
tanda penyakit arteri koroner, di eksaserbasikan pada arteri yang menjadisubjek
peningkatan tekanan darah kronis mengurangi tekanan yang terkait dengan
hipertensi dan disfungsi endotelial menyebabkan gangguan pada sintesis dan
pelepasan nitrit oksida yang merupakan vasodilator poten. Penurunan kadar
nitrit oksida menyebabkan perkembangan dan makin cepatnya pembentukan
arteriosklerotis dan plak. Gambaran morfologi plak identik dengan plak yang
ditemukan pada pasien tanpa hipertensi.
Arimia kardiak
Arimia kardia umumnya ditemukan pada pasien dengan
hipertensi yang mengalami arterial fibrilasi kontraksi ventrikel yang prematur
dan ventrikuler takikardi.
Resiko henti jantung mendadak meningkat. Berbagai
metabolismedipekirakan memegang peranan dalam patogenesis aritmia termasuk
perubahan struktur dan metabolisme sel, ketidakhomogen miokard, perfusi yang
buruk, fibrosis miokard dan fluktuasi pada afterload. Semua faktor tersebut
dapat menyebabkan peningkatanan resiko ventrikel takiaritmia.
Artrial fibrilasi (paroksisimal, kronik rekuren, atau kronik
persisten), sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Faktanya,
peningkatan tekanan darah merupakan faktor umum bagi artrial fibrilasi. Pada
suatu penelitian hampir 50% pasien dengan artrial fibrilasi mengidap hipertensi
walaupun etiologi yang pasti tidak diketahui, abnormalitas struktur atrium
kiri, penyakit arteri koroner, dan HVK telah dianggap sebagi faktor yang
mungkin berperan. Perkembangan artrial fibrilasi dapat menyebabkan disfungsi
sistolik dekompensata, dan yang lebih penting, disfungsi diastolik, menyebabkan
hlangnya kontraksi atrium, dan juga meningkatkan resiko komplikasi
tromboembolik, khususnya stroke.
Kontraksi ventrikuler prematur, ventrikuler aritmia dan
henti jantung mendadak ditemukan lebih sering pada pasien dengan HVK daripada
pasien tanpa HVK. Penyebab arimitmia tersebut dianggap terjadi
bersama-sama dengan penyakit arteri koroner dan fibrosis miokard.3,5,7,9,10
II.4. Diagnosis
Riwayat
Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan
riwayat lengkat dan pemeriksaan fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis
hipertensi, menyaring faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular lain,
menyaring penyebab-penyebab sekunder hipertensi, mengidentifikasi konsekuensi
kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain, memeriksa gaya hidup
terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki
gejala spesifik yang dapat dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah mereka.
Walaupun popular dianggap sebagai gejala peningkatan tekanan arterial, sakit
kepala lazim terjadi hanya pada pasien dengan hipertensi berat. Suatu sakit
kepala hipertensif khas terjadi pada waktu pagi dan berlokasi di regio
oksipital. Gejala nonspesifik lain yang dapat berkaitan dengan peningkatan
tekanan darah antara lain adalah rasa pusing, palpitasi, rasa mudah lelah, dan
impotensi. Ketika gejala-gejala didapati, mereka umum berhubungan dengan
penyakit kardiovaskular hipertensif atau dengan manifestasi hipertensi
sekunder. Tabel berikut mendaftarkan fitur-fitur nyata yang harus diselidiki
dalam perolehan riwayat dari pasien hipertensif.
Tabel Riwayat
yang relevan
|
Durasi hipertensi
|
Terapi terdahulu: respon dan efek samping
|
Riwayat diet dan psikososial
|
Faktor-faktor risiko lain: perubahan berat badan,
dislipidemia, kebiasaam merokok, diabetes, inaktivitas fisik
|
Bukti-bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal; perubahan
penampilan; kelemahan otot; palpitasi, tremor; banyak berkeringan, sulit
tidur, perilaku mendengkur, somnolens siang hari; gejala-gejala hipo atau
hipertiroidisme; penggunaan agen-agen yang dapat meningkatkan tekanan darah
|
Bukti-bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke,
kebutaan transien; angina, infark miokardium, gagal jantung kongestif; fungsi
seksual
|
Komorbiditas lain
|
Pengukuran tekanan darah
Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada
perhatian terhadap detail mengenai teknik dan kondisi pengukuran. Karena
peraturan terkini yang melarang penggunaan merkuri karena perhatian mengenai
toksisitas potensialnya, sebagian besar pengukuran kantor dibuat menggunakan
instrumen aneroid. Akurasi instrumen pengukur tekanan darah terotomatisasi
harus dikonfirmasi. Sebelum pengukuran tekanan darah, individu harus didudukkan
selama 5 menit dalam kondisi hening dan dengan privasi yang terjaga serta
temperatur yang nyaman. Bagian tengah cuff harus berada sejajar jantung, dan
lebar cuff harus setara dengan sekurang-kurangnya 40% lingkar lengan.
Penempatan cuff, penempatan stetoskop, dan kecepatan deflasi cuff (2
mmHg/detik) penting untuk diperhatikan. Tekanan darah sistolik adalah yang
pertama dari sekurang-kurangnya dua ketukan suara Korotkoff regular, dan
tekanan darah diastolik adalah titik di mana suara Korotkoff regular terakhir
didengar. Dalam praktik saat ini, diagnosis hipertensi umumnya dilandasi oleh
pengukuran dalam kondisi duduk di tempat praktik.
Monitor ambulatorik yang tersedia sekarang adalah sepenuhnya
otomatis, menggunakan tekhik osilometrik, dan umumnya diprogram untuk membuat
pembacaan setiap 15-30 menit. Namun pengawasan tekanan darah ambulatorik
tidaklah sering digunakan secara rutin di praktik klinis dan lazim disimpan
bagi pasien yang dicurigai mengalami white coat hypertension. JNC 7 juga
telah merekomendasikan pengawasan ambulatorik untuk resistensi terhadap
penanganan, hipotensi simptomatik, kegagalan otonom, dan hipertensi episodik.
Pemeriksaan fisik
Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus
dicatat. Pada pemeriksaan awal, tekanan harus diukur pada kedua lengan, dan
lebih baik pada posisi terlentang, duduk dan berdiri untuk mengevaluasi
keberadaan hipotensi postural. Bahkan jika nadi femoral teraba normal, tekanan
arterial harus diukur sekurangnya sekali pada ekstremitas inferioir pada pasien
di mana hipertensi ditemui sebelum usia 30 tahun. Kecepatan detak jantung juga
harus dicatat. Individu hipertensif memiliki peningkatan prevalensi untuk mengalami
fibrilasi atrial. Leher harus dipalpasi untuk mencari pembesaran kelenjar
tiroid, dan para pasien harus diperiksa untuk tanda-tana hipo dan
hipertiroidisme. Pemeriksaan pembuluh darah dapat menyediakan petunjuk mengenai
penyakit vakular yang mendasari dan harus menyertakan pemeriksaan funduskopik,
auskultasi untuk bruit di arteri karotid dan femoral, dan palpasi denyut nadi
femoral dan pedal (pedis). Retina adalah satu-satunya jaringan di mana arteri
dan arteriol dapat diamati secara langsung. Seiring peningkatan tingkat
keparahan hipertensi dan penyakit atherosklerotik, perubahan funduskopik
progresif antara lain seperti peningkatan refleks cahaya arteriolar, defek
perbandingan arteriovenous, hemorrhagi dan eksudat, dan, pada pasien dengan
hipertensi maligna, papiledema. Pemeriksaan pada jantung dapat mengungkapkan
bunyi jantung kedua yang menguat karena penutupan katup aorta dan suatu gallop
S4 yang dikarenakan kontraksi artrium terhadap ventrikel kiri yang tidak
seiring. Hipertropi ventrikel kiri dapat terdeteksi melalui keberadaan impuls
apikal yang menguat, bertahan, dan bertempat di lateral. Suatu bruit abdominal,
terutama bruit yang berlateralisasi dan terjadi selama sistole ke diastole,
meningkatkan kemungkinan hipertensi renovaskular. Ginjal pasien dengan penyakit
ginjal polikistik dapat dipalpasi di abdomen. Pemeriksaan fisis harus
menyertakan pemeriksaan tanda-tanda CHF dan pemeriksaan neurologis.
Tes laboratorium
Tabel dibawah ini mencantumkan tes-tes laboratorium yang
direkomendasikan dalam evaluasi awal pasien hipertensif. Pengukuran fungsi
ginjal berulang, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lipid dapat dilakukan
setelah pemberian agen antihipertensif baru dan kemudian tiap tahun, atau lebih
sering bila diindikasikan secara klinis. Tes laboratorium yang lebih ekstensif
dapat dilakukan bagi pasien dengan hipertensi resistan-pengobatan yang nyata
atau ketika evaluasi klinis menunjukkan bentuk hipertensi sekunder.4
Tabel Tes
laboratorium dasar untuk evaluasi awal
|
|
Sistem
|
Tes
|
Ginjal
|
Urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin, BUN atau
kreatinin serum
|
Endokrin
|
Natrium, kalium, kalsium, dan TSH serum
|
Metabolik
|
Glukosa darah puasa, kolesterol total, HDL dan LDL,
trigliserida
|
Lain-lain
|
Hematokrit, elektrokardiogram
|
II.5. Penatalaksanaan
Perubahan gaya hidup
Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah
memiliki pengaruh baik pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi.
Modifikasi gaya hidup yang meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi
individu dengan prehipertensi dan sebagai tambahan untuk terapi obat pada
individu hipertensif. Intervensi-intervensi ini harus diarahkan untuk mengatasi
risiko penyakit kardiovaskular secara keseluruhan. Walaupun efek dari
intervensi gaya hidup pada tekanan darah adalah jauh lebih nyata pada individu
dengan hipertensi, pada uji jangka-pendek, penurunan berat badan dan reduksi
NaCl diet juga telah terbukti mencegah perkembangan hipertensi. Pada individu
hipertensif, bahkan jika intervensi-intervensi ini tidak menghasilkan reduksi
tekanan darah yang cukup untuk menghindari terapi obat, namun jumlah pengobatan
atau dosis yang diperlukan untuk kontrol tekanan darah dapat dikurangi.
Modifikasi diet yang secara efektif mengurangi tekanan darah adalah penurunan
berat badan, reduksi masukan NaCl, peningkatan masukan kalium, pengurangan
konsumsi alkohol, dan pola diet sehat secara keseluruhan.
Tabel Modifikasi
gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
|
|
Reduksi berat badan
|
Memperoleh dan mempertahankan BMI <25 kg/m2
|
Reduksi garam
|
< 6 g NaCl/hari
|
Adaptasi rencana diet jenis-DASH
|
Diet yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu
rendah-lemak dengan kandungan lemak tersaturasi dan total yang dikurangi
|
Pengurangan konsumsi alkohol
|
Bagi mereka yang mengkonsumsi alkohol, minumlah 2
gelas/hari untuk laki-laki dan 1 gelas/hari untuk wanita
|
Aktivitas fisik
|
Aktivitas aerobik teratur, seperti jalan cepat selama 30
menit/hari
|
Pencegahan dan penatalaksanaan obesitas adalah penting untuk
mengurangi tekanan darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Pada uji
jangka-pendek, bahkan penurunan berat badan yang moderat dapat mengarah pada
reduksi tekanan darah dan peningkatan sensitivitas insulin. Reduksi tekanan
darah rata-rata sebesar 6.3/3/1 mmHg telah diamati terjadi dengan reduksi berat
badan rata-rata sebesar 9.2 kg. Aktivitas fisik teratur memudahkan penurunan
berat badan, mengurangi tekanan darah, dan mengurangi risiko keseluruhan untuk
penyakit kardiovaskular. Tekanan darah dapat dikurangi oleh aktivitas fisik
intensitas moderat selama 30 menit, seperti jalan cepat, 6-7 hari per minggu,
atau oleh latihan dengan intensitas lebih dan frekuensi kurang.
Terdapat variasi individual dalam sensitivitas tekanan darah
terhadap NaCl, dan variasi ini mungkin memiliki dasar genetis. Berdasarkan
hasil dari metaanalisis, penurunan tekanan darah dengan pembatasan masukan NaCl
harian menjadi 4.4-7.4 g (75-125 mEq) menghasilkan reduksi tekanan darah
sebesar 3.7-4.9/0.9-2.9 mmHg pada individu hipertensif dan reduksi yang lebih
rendah pada individu normotensif. Diet yang kurang mengandung kalium, kalsium,
dan magnesium berkaitan dengan tekanan darah yang lebih tinggi dan prevalensi
hipertensi yang lebih tinggi. Perbandingan natrium-terhadap-kalium urin
memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap tekanan darah dibanding natrium atau
kalium saja. Suplementasi kalium dan kalsium memiliki efek antihipertensif
moderat yang tidak konsisten, dan, tidak tergantung pada tekanan darah,
suplementasi kalium mungkin berhubungan dengan penurunan mortalitas stroke.
Penggunaan alkohol pada individu yang mengkonsumsi tiga atau lebih gelas per
hari (satu gelas standar mengandung ~14 g etanol) berhubungan dengan tekanan
darah yang lebih tinggi, dan reduksi konsumsi alkohol berkaitan dengan reduksi
tekanan darah. Mekanisme bagaimana kalium, kalsium, atau alkohol dapat
mempengaruhi tekanan darah masihlah belum diketahui.
Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada
periode 8 minggu, diet yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu
rendah-lemak mengurangi tekanan darah pada individu dengan tekanan darah
tinggi-normal atau hipertensi ringan. Reduksi masukan NaCl harian menjadi <6
g (100 mEq) menambah efek diet ini pada tekanan darah. Buah-buahan dan
sayur-sayuran merupakan sumber yang kaya akan kalium, magnesium, dan serat, dan
produk susu merupakan sumber kalsium yang penting.
Terapi farmakologis
Terapi obat direkomendasikan bagi individu dengan tekanan
darah 140/90 mmHg. Derajat keuntungan yang diperoleh dari agen-agen
antihipertensif berhubungan dengan besarnya reduksi tekanan darah. Penurunan
tekanan darah sistolik sebesar 10-12 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar
5-6 mmHg bersama-sama memberikan reduksi risiko sebesar 35-40% untuk stroke dan
12-16% untuk CHD dalam 5 tahun dari mula penatalaksanaan. Risiko gagal jantung
berkurang sebesar >50%. Terdapat variasi yang nyata dalam respon individual
terhadap kelas-kelas agen antihipertensif yang berbeda, dan besarnya respon
terhadap agen tunggal apapun dapat dibatasi oleh aktivasi mekanisme counter-regulasi
yang melawan efek hipotensif dari agen tersebut. Pemilihan agen-agen
antihipertensif, dan kombinasi agen-agen, harus dilakukan secara individual,
dengan pertimbangan usia, tingkat keparahan hipertensi, faktor-faktor risiko
penyakit kardiovaskular lain, kondisi komorbid, dan pertimbangan praktis yang
berkenaan dengan biaya, efek samping, dan frekuensi pemberian obat.
Diuretik
Diuretik thiazide dosis-rendah sering digunakan sebagai agen
lini pertama, sendiri atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensif lain.
Thiazide menghambat pompa Na+/Cl- di tubulus konvultus
distal sehingga meningkatkan ekskresi natrium. Dalam jangka panjang, mereka
juga dapat berfungsi sebagai vasodilator. Thiazide bersifat aman, memiliki
efikasi tinggi, dan murah serta mengurangi kejadian klinis. Mereka memberikan
efek penurunan-tekanan darah tambahan ketika dikombinasikan dengan beta
blocker, ACE inhibitor, atau penyekat reseptor angiotensin. Sebaliknya,
penambahan diuretik terhadap penyekat kanal kalsium adalah kurang efektif.
Dosis biasa untuk hydrochlorothiazide berkisar dari 6.25 hingga 50 mg/hari.
Karena peningkatan insidensi efek samping metabolik (hipokalemia, resistansi
insulin, peningkatan kolesterol), dosis yang lebih tinggi tidaklah dianjurkan.
Dua diuretik hemat kalium, amiloride dan triamterene, bekerja dengan menghambat
kanal natrium epitel di nefron distal. Agen-agen ini adalah agen
antihipertensif yang lemah namun dapat digunakan dalam kombinasi dengan
thiazide untuk melindungi terhadap hipokalemia. Target farmakologis utama untuk
diuretik loop adalah kotransporter Na+-K+-2Cl-
di lengkung Henle ascenden tebal. Diuretik loop umumnya dicadangkan bagi pasien
hipertensif dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerular [kreatinin serum
refleksi >220 mol/L (>2.5 mg/dL)], CHF, atau retensi natrium dan edema
karena alasan-alasan lain seperti penatalaksanaan dengan vasodilator yang
poten, seperti monoxidil.
Penyekat sistem renin-angiotensin
ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II,
meningkatkan kadar bradikinin, dan mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis.
Penyekat reseptor angiotensin II menyediakan blokade reseptor AT1
secara selektif, dan efek angiotensin II pada reseptor AT2 yang
tidak tersekat dapat menambah efek hipotensif. Kedua kelas agen-agen ini adalah
agen antihipertensif yang efektif yang dapat digunakan sebagai terapi tunggal
atau dalam kombinasi dengan diuretik, antagonis kalsium, dan agen-agen penyekat
alfa. Efek samping ACE inhibitor dan penyekat reseptor angiotensin antara lain
adalah insufisiensi ginjal fungsional karena dilatasi arteriol eferen ginjal
pada ginjal dengan lesi stenotik pada arteri renalis. Kondisi-kondisi
predisposisi tambahan terhadap insufisiensi ginjal yang diinduksi oleh
agen-agen ini antara lain adalah dehidrasi, CHF, dan penggunaan obat-obat
antiinflamasi non steroid. Batuk kering terjadi pada ~15% pasien, dan
angioedema terjadi pada <1% pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitor.
Angioedema paling sering terjadi pada individu yang berasal dari Asia dan lebih
lazim terjadi pada orang Afrika Amerika dibanding orang Kaukasia. Hiperkalemia
yang disebabkan hipoaldosteronisme merupakan efek samping yang kadang terjadi
baik pada penggunaan ACE inhibitor maupun penyekat reseptor angiotensin.
Antagonis aldosteron
Spironolakton adalah antogonis aldosteron nonselektif yang
dapat digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan diuretik thiazide. Ia
adalah agen yang terutama efektif pada pasien dengan hipertensi esensial
rendah-renin, hipertensi resistan, dan aldosteronisme primer. Pada pasien
dengan CHF, spironolakton dosis rendah mengurangi mortalitas dan perawatan di
rumah sakit karena gagal jantung ketika diberikan sebagai tambahan terhadap
terapi konvensional dengan ACE inhibitor, digoxin, dan diuretik loop. Karena
spironolakton berikatan dengan reseptor progesteron dan androgen, efek samping
dapat berupa ginekomastia, impotensi, dan abnormalitas menstruasi. Efek-efek
samping ini dihindari oleh agen yang lebih baru, eplerenone, yang merupakan
antagonis aldosteron selektif. Eplerenone baru-baru ini disetujui di US untuk
penatalaksanaan hipertensi
Beta blocker
Penyekat reseptor adrenergik mengurangi tekanan darah
melalui penurunan curah jantung, karena reduksi kecepatan detak jantung dan
kontraktilitas. Mekanisme lain yang diajukan mengenai bagaimana beta blocker
mengurangi tekanan darah adalah efek pada sistem saraf pusat, dan inhibisi
pelepasan renin. Beta blocker terutama efektif pada pasien hipertensif dengan
takikardia, dan potensi hipotensif mereka dikuatkan oleh pemberian bersama
diuretik. Pada dosis yang lebih rendah, beberapa beta blocker secara selektif
menghambat reseptor 1 jantung dan kurang memiliki pengaruh pada
reseptor 2 pada sel-sel otot polos bronkus dan vaskular; namun
tampak tidak terdapat perbedaan pada potensi antihipertensif beta blocker
kardio selektif dan non kardio selektif. Beta blocker tertentu memiliki
aktivitas simpatomimetik intrinsik, dan tidaklah jelas apakah aktivitas ini
memberikan keuntungan atau kerugian dalam terapi jantung. Beta blocker tanpa
aktivitas simpatomimetik intrinsik mengurangi tingkat kejadian kematian
mendadak (sudden death), mortalitas keseluruhan, dan infark miokardium rekuren.
Pada pasien dengan CHF, beta blocker telah dibuktikan mengurangi risiko
perawatan di rumah sakit dan mortalitas. Carvedilol dan labetalol menyekat
kedua reseptor 1 dan 2 serta reseptor adrenergik perider.
Keuntungan potensial dari penyekatan kombinasi dan adrenergik dalam
penatalaksanaan hipertensi masih perlu ditentukan.
Penyekat adrenergik
Antagonis adrenoreseptor selektif postsinaptik mengurangi
tekanan darah melalui penurunan resistansi vaskular perifer. Mereka adalah agen
antihipertensif yang efektif, yang digunakan sebagai monoterapi maupun dalam
kombinasi dengan agen-agen lain. Namun dalam uji klinis pada pasien
hipertensif, penyekatan alfa tidak terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas
kardiovaskular ataupun menyediakan perlindungan terhadap CHF sebesar
kelas-kelas agen antihipertensif lain. Agen-agen ini juga efektif dalam
menangani gejala tractus urinarius bawah pada pria dengan hipertropi prostat.
Antagonis adrenoreseptor nonseletif berikatan dengan reseptor postsinaptik dan
presinaptik dan terutama digunakan untuk penatalaksanaan pasien dengan
pheokromositoma.
Agen-agen simpatolitik
Agonis simpatetik yang bekerja secara sentral mengurangi
resistansi perifer dengan menghambat aliran simpatis. Mereka terutama berguna
pada pasien dengan neuropati otonom yang memiliki variasi tekanan darah yang
luas karena denervasi baroreseptor. Kerugian agen ini antara lain somnolens,
mulut kering, dan hipertensi rebound saat penghentian. Simpatolitik
perifer mengurangi resistansi perifer dan konstriksi vena melalui pengosongan
cadangan norepinefrin ujung saraf. Walaupun merupakan agen antihipertensif yang
potensial efektif, kegunaan mereka dibatasi oleh hipotensi orthostatik,
disfungsi seksual, dan berbagai interaksi obat.
Penyekat kanal kalsium
Antagonis kalsium mengurangi resistansi vaskular melalui
penyekatan L-channel, yang mengurangi kalsium intraselular dan vasokonstriksi.
Kelompok ini terdiri dari bermacam agen yang termasuk dalam tiga kelas berikut:
phenylalkylamine (verapamil), benzothiazepine (diltiazem), dan
1,4-dihydropyridine (mirip-nifedipine). Digunakan sendiri atau dalam kombinasi
dengan agen-agen lain (ACE inhibitor, beta blocker, 1-adrenergic
blocker), antagonis kalsium secara efektif mengurangi tekanan darah; namun,
apakah penambahan diuretik terhadap penyekat kalsium menghasilkan penurunan
lebih lanjut pada tekanan darah adalah tidak jelas. Efek samping seperti flushing,
sakit kepala, dan edema dengan penggunaan dihydropyridine berhubungan dengan
potensi mereka sebagai dilator arteriol; edema disebabkan peningkatan gradien
tekanan transkapiler, dan bukan karena retensi garam dan cairan.
Vasodilator Langsung
Agen-agen ini mengurangi resistensi perifer, lazimnya mereka
tidak dianggap sebagai agen lini pertama namun mereka paling efektif ketika
ditambahkan dalam kombinasi yang menyertakan diuterik dan beta blocker.
Hydralazine adalah vasodilator direk yang poten yang memiliki efek antioksidan
dan penambah NO, dan minoxidil merupakan agen yang amat poten dan sering
digunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang refrakter terhadap semua
obat lain. Hydralazine dapat menyebabkan sindrom mirip-lupus, dan efek samping
minoxidil antara lain adalah hipertrikosis dan efusi perikardial.4,8
II.6 PROGNOSIS
Resiko komplikasi tergantung pada seberapa besar hipertropi
ventrikel kiri. Semakin besar ventrikel kiri, semakin besar kemungkinan
kompilkasi terjadi. Pengobatan hipertensi dapat mengurangi kerusakan pada
ventrikel kiri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan
tertentu seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat
mengatasi hipertropi ventrikel kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup
pasien dengan gagal jantung akibat penyakit jantung hipertensi. Bagaimanapun
juga, penyakit jantung hipertensi adalah penyakit yang serius yang memiliki
resiko kematian mendadak.2
BAB
III
KESIMPULAN
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang
berkaitan dengan dampak sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang
lama dan berkepanjangan. Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia
berkisar antara 5-10%. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya
atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik).
Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi
sekunder).1 Tekanan darah tingi adalah faktor resiko utama bagi
penyakit jantung dan stroke. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit
jantung iskemik ( menurunnya suplai darah untuk otot jantung sehingga
menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan jantung) dari peningkatan
suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu
hal komplek yang melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu
hemodinamik, struktural, neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu
sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan
komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat
memodulasi faktor-faktor tersebut.
Diagnosis penyakit jantung hipertensi didasarkan pada
riwayat, pengkuran tekanan darah, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
laboratorium.
Penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi meliputi
perubahan gaya hidup (non farmakologi), yaitu Implementasi gaya hidup yang
mempengaruhi tekanan darah memiliki pengaruh baik pada pencegahan maupun
penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang meningkatkan kesehatan
direkomendasikan bagi individu dengan prehipertensi dan sebagai tambahan untuk
terapi obat pada individu hipertensif dan terapi farmakologi (Diuretik,penyekat
sistem renin angiotensin, antagonis aldosteron,penyekat beta, penyekat
adrenergik, agen simpatolitik, penyekat kanal kalsium, vasodilator direk (langsung).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik
spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel kiri dan
memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat penyakit
jantung hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA
- Panggabean, Marulam. Penyakit jantung hipetensi, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.p.1654-55
- Miller. Hypertensive heart disease-treatment. (Serial Online: Desember 2008). Available from: http://www.umm.edu/ency/article/000153.htm. accessed at Desember 3, 2008
- Riaz, Kamran. Hypertensive heart disease. (Serial Online: Desember 2008). Available from: http://www.emedicine.com/MED/topic3432.htm. Accessed at Desember 3, 2008
- Baim, Donald S. Hypertensive vascular disease in: Harrison’s Principles of Internal Medicine. 7th Ed. USA. The Mcgraw-Hill Companies, Inc. 2008. p. 241
- Price SA, Wilson LM. Fisiologi sistem kardiovaskular, Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC; 2006.p.530-543.
- Yogiantoro, mohammad. Hipertensi esensial, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.p.610-614.
- Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FK UI: 2001. H. 441-442
- Katzung, betram.Farmakologi dasar dan klinik.Edisi VI. Jakarta : EGC. 1997. h. 245
- Robbins, S.L, Kumar, V. Buku Ajar Patologi. Edisi ke-4. Jakarta : EGC. 1995. h.45
- Robbin, SL, Kumar, V, Cotran, RS. Dasar Patologi Penyakit. Edisi ke-5. Jakarta: EGC. H.322-323
Comments
Post a Comment