You can download the pdf file for this journal original version in link below:
Research
Article
Tren Terapi Rinitis Alergika dan Asma: Survei ENT di
Inggris
Ravinder S Natt, Petros D Karkos, Davinia K Natt,
Eva G Theochari dan Apostolos Karkanevatos
Abstrak
Latar
belakang: Rinitis Alergika merupakan penyakit telinga,
hidung dan tenggorokan yang umum. Asma dan Rinitis Alergika merupakan penyakit
dengan mekanisme yang mendasari dan patogenesis yang mirip. Tujuan survi ini
yaitu untuk menyoroti tren terapi saat ini untuk Rinitis Alergika dan Asma.
Metode:
Kuesioner dikirim lewat email ke seluurh anggota konsultan dari British Association of Otorhinolaryngologist—Ahli
bedah kepala dan leher mengenai manajemen pasien dengan Rinitis Alergika dan
gangguan lain yang berhubungan.
Hasil:
Angka respon survei yaitu 56%. Hasil mengindikasikan pendekatan yang bervariasi
pada pemeriksaan dan manajemen terapi Rinitis Alergika sesuai dengan
rekomendasi-rekomendasi terhadap Rinitis Alergika dan dampaknya pada panduan
Asma dalam kolaborasi dengan World Health
Organization (WHO).
Kesimpulan:
Kombinasi pendekatan manajemen tata laksana untuk pasien dengan Rinitis
Alergika dan berikutnya Asma mungkin dapat mengurangi biaya terapi medis untuk
kondisi-kondisi ini dan meningkatkan kontrol gejala dan kualitas hidup.
Kata
kunci: Rinitis Alergika Asma, Survei, Kuesioner, Atopi
Latar
Belakang
Definisi Rinitis Alergika (AR) dibuat oleh Hansel
pada tahun 1929. Ini merupakan kelainan nasal simptomatik yang disebabkan oleh
paparan allergen melalui respon imun yang dimediasi IgE melawan allergen. AR
dapat dibagi menjadi AR intermitten (gejala <4 hari per minggu atau untuk
<4 minggu) dan AR persisten (gejala >4 hari per minggu atau untuk >4
minggu) dan selanjutnya dibagi sesuai tingkat keparahan yaitu ringan atau sedang/berat.
Jalan napas dan sinus paranasal
merupakan bagian integral dari traktus respiratorik dan pasien mungkin
menderita rhinitis tanpa sinusitis, tapi tidak dapat menderita sinusitis tanpa
rhinitis, sehingga istilah rhinitis telah diganti literatur modern ENT dengan
istilah yang lebih akurat yaitu rinosinusitis. AR dan Asma berhubungan secara
epidemiologis, patologik, fisiologik dan terapeutikal dan dapat dipertimbangkan
sebagai manifestasi sindrom inflamasi jalan napas tunggal. Kebanyakan pasien
dengan Asma menyarankan konsep “satu jalan napas, satu penyakit”. AR lebih
tinggi prevalensinya dibandingkan Asma dan penelitian populasi Eropa melaporkan
bahwa angka prevalensi AR adalah 25%. AR biasanya mendahului Asma dan dapat
dipertimbangkan sebagai faktor risiko terkena Asma. Rinitis terdapat pada 80%
pasien Asma dan sering memperburuk Asma dan meningkatkan risiko serangan Asma,
tapi prevalensi Asma pada pasien dengan Rhinitis bervariasi dari 10-40%. AR dan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang menyebabkan disabilitas mayor
termasuk gangguan tidur, sekolah, pekerjaan dan kualitas hidup dan berhubungan
dengan biaya ekonomik yang substansial.
Etiologi AR adalah multifaktorial
dan diagnosis serta pilihan terapi masih bermacam-macam. Tujuan survei kuesioner
ini untuk menyoroti tren terapi masih tetap diverse.
Tujuan survei kuesioner ini yaitu untuk menyoroti tren terapi pada manajamen
tata laksana AR di Inggris berdasarkan Otolaryngologist.
Metode
Sebuah kuesioner (Lampiran 1) dikirim lewat email
via ENT UK ke alamat email semua anggota konsultan yang terdaftar pada British Association of Otorhinolaryngologist—Ahli
bedah kepala dan leher (BAO-HNS). Penerima survei ditanyakan mengenai 1)
familiaritas mereka dengan panduan (guidelines)
Rinitis Alergika dan dampaknya pada Asma (ARIA) pada kolaborasi dengan World Health Organization (WHO), 2) tipe
pemeriksaan, regimen terapi dan pengaturan follow-up untuk pasien AR dan 3)
apakah mereka memberikan brosur saran terhadap gaya hidup termasuk edukasi
untuk menghindari allergen. Semua partisipan memiliki kesempatan melaporkan
secara anonim.
Hasil
Kuesioner berjumlah total 551 telah dikirim lewat
email. Terdapat 309 balasan (angka respon 56%). Semua konsultan familiar dengan
hubungan antara AR dan Asma tapi hanya 63% responden yang familiar dengan
panduan ARIA. Tujuh puluh tujuh (25%) otorhinolaryngologist
memberikan manajemen tata laksana pasien AR dimana proporsi 20-30% memiliki
gejala yang berhubngan atau diagnosis Asma (Gambar 1).
Pemeriksaan yang paling umum yang
dimintakan yaitu skin prick testing
(81% dari responden). Hanya sembilan konsultan (3%) yang meminta spirometri
pulmonal (Gambar 2).
Lima puluh enam persen otorhinolaryngologist lebih menyukai manajemen pathway memulai terapi dan kemudian memulangkan pasien AR ke dokter umum untuk follow-up lanjutan. Meskipun begitu tiga (1%) konsultan memberikan terapi dan selanjutnya merujuk pasien AR ke ahli respiratorik (Gambar 3).
Dengan total dua ratus lima puluh (78%) otorhinolaryngologist memberikan brosur kepada pasien mengenai perubahan gaya hidup termasuk edukasi dan tips praktis dalam menghindari allergen. (Gambar 4)
Diskusi
AR merupakan penyakit multifaktorial dnegan efek
mengganggu yang mendunia pada seluruh individu tanpa memandang usia dan latar
belakang etnis. Pada tahun 2001 ARIA dalam kolaborasi dengan workshop WHO
menerbitkan panduan untuk professional kesehatan dalam rangka menyoroti update terbaru pada etiologi AR yang menekankan
hubungan antara AR dan Asma dan menyarankan algoritma manajemen tata laksana.
Pada tahun 2008 update selanjutnya
memasukkan bukti berdasarkan praktik dan membuat metodologi Grading of Recommendations Assessment,
Development dan Evaluation (GRADE) Working
Group dengan fokus pada pencegahan penyakit alergik dan respiratorik
kronis.
Faktor risiko AR termasuk kombinasi
interaksi lingkungan dan genetik. Diagnosis AR berdasaran riwayat menyerluruh
dari gejala alergik dan pemeriksaan diagnositik. European Academy of Allergiology and Clinical Immunology, the US Joint Council of Allergy and Asthma
and the WHO merekomendasikan penggunaan skin
prick testing untuk AR, yang disukai oleh mayoritas kalangan otolaryngologist (81%).
Penggunaan steroid intra-nasal untuk
terapi AR sangat besar pada 99% konsultan UK ENT. Tren ini didukung oleh
beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa steroid intra-nasal merupakan terapi
lini pertama yang paling efektif dan biaya efektif untuk AR.
Imunoterapi spesifik allergen untuk
AR pertama kali dijelaskan pada tahun 1911 oleh Noon dan melibatkan pemberian
ekstrak allergen yang meningkat secara bertahap. Pasien dipilih dengan antibodi
IgE spesifik yang ditunjukkan terhadap allergen yang diketahui. Di Amerika
Serikat cara pemberian subkutan merupakan satu-satunya cara pemberian yang
diizinkan. Menariknya, 15% otorhinolaryngologist
Inggris menggunakan bentuk imunoterapi sublingual dan 5% menggunakan bentuk
imunoterapi subkutan. Terdapat peningkatan bukti yang mendukung penggunaan
imunoterapi allergen pada AR. Tidak seperti farmakoterapi, keuntungan klinis
lebih mungkin bertahan untuk beberapa tahun setelah terapi dihentikan. Wilson
et al pada review Cochrane
menunjukkan imunoterapi sublingual aman dan merupakan pilihan efektif dalam
manajemen tata laksana AR. Lebih lanjut lagi, Calderon et al dalam
meta-analisis yang dipublikasikan baru-baru ini menganjurkan penggunaan
imunoterapi injeksi allergen sebagai terapi efektif dengan risiko adverse effect (efek merugikan) yang
rendah dalam manajemen tata laksana AR. Meskipun begitu, penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk evaluasi perbedaan signifikan antara dua cara pemberian
ini. Imunoterapi allergen spesifik tidak direkomendasikan pada pasien dengan
Asma berat atau tidak terkontrol karena risiko reaksi bronchial yang merugikan.
Pentingnya edukasi pasien atau
keluarga yang merawat dengan brosur saran mengenai informasi tentang AR
termasuk menghindari allergen tidak dapat didapat ditekankan berlebihan dan
secara aktif didukung oleh 78% responden dalam survei ini. Ini memungkinkan
individu untuk secara aktif terlibat dalam manajemen terapi penyakit mereka
yang menghasilkan peningkatan keseluruhan dalam kepuasan pasien, kompliansi
terapi dan hasil. Praktik seperti ini didukung oleh General Medical Council (GMC) melalui panduan pada praktik medis
yang baik untuk dokter.
Menariknya, hanya 3% otorhinolaryngologist yang mengatur
untuk dilakukan pemeriksaan spirometri dan 1% dari seluruh responden yang
merujuk pasien AR ke spesialis respiratorik untuk manajemen patologi traktus
respiratorik bagian bawah apa saja yang berhubungan. Beberapa penelitian meski
telah menunjukkan pasien AR yang tidak memiliki Asma juga memiliki gangguan
fungsi pulmonal dan obstruksi jalan napas reversible. Sebagai tambahan, penelitian
telah mengungkapkan bahwa AR berhubungan dengan peningkatan penggunaan terapi
medis yang berhubungan dengan Asma dan terapi baik AR maupun Asma dapat
meredakan gejala satu dan yang lainnya sehingga mengurangi jumlah tidak masuk
sekolah dan pekerjaan dan biaya menggunakan jasa medis yang hilang dari
produktivitas pekerjaan. Lebih lanjut lagi, kesadaran yang lebih besar dari
beban ekonomik AR dapat membantu petugas kesehatan dalam menyediakan prioritas
untuk alokasi sumber dana mereka yang terbatas dan akhirnya memastikan biaya
dan hasil klinis yang efektif.
Kesimpulan
Survei ini menunjukkan pendekatan yang
bermacam-macam pada manajemen tata laksana Rinitis Alergika. Temuan yang
menarik dari survei yaitu meski terdapat bukti yang baik mengenai hubungan
antara Asma dan AR, kebanyakan otorhinolaryngologist
sering tidak berpikir “diluar spesialitas bidang” mereka, sebagai contoh
mereka jarang ingin menggunakan spirometri sebagai bantuan pemeriksaan
diagnostic.
Kombinasi strategi terapi dengan menghindari
allergen, farmakoterapi, imunoterapi dan edukasi yang diberikan pada pasien
dengan AR dan Asma yang bersamaan sesuai dengan rekomendasi ARIA dapat
mengurangi biaya terapi medis dan meningkatkan kontrol gejala dan kualitas
hidup.
Konflik
dan Ketertarikan Persaingan
Peneliti menyatakan bahwa mereka tidak memiliki
ketertarikan persaingan.
Lampiran
Kuesioner
Sejawat yang terhormat,
Tolong
bisakah anda mengisi survei ini dengan respon anda dan mengembalikannya dengan
mengklik tanda SUBMIT di bawah ini. Kami berterima kasih untuk waktu anda yang
berharga dalam mengisi survei ini.
1. Apakah
anda familiar dengan hubungan antara Rinitis Alergika dan Asma?
·
Ya
·
Tidak
2. Apakah
anda familiar dengan panduan (guidelines)
Rinitis Alergika dan dampaknya pada Asma (ARIA) pada kolaborasi dengan World Health Organization (WHO)?
·
Ya
·
Tidak
3. Berapa
proporsi pasien anda dengan Rinitis Alergika yang memiliki gejala atau diagnosis
Asma?
·
<10%
·
10-20%
·
20-30%
·
30-40%
·
40-50%
·
>50%
4. Jika
anda mencurigai Rinitis Alergika, pemeriksaan apa yang akan anda pertimbangkan
untuk dilakukan (anda boleh memilih satu atau lebih pilihan di bawah ini)?
·
Tidak ada
·
Skin
prick test dari allergen yang diketahui
·
Tes serologi misalnya RAST, IgE
·
Peak
flow meter (air
flow litres/minute)
·
Spirometri pulmonal
5. Jika
anda mencurigai Rinitis Alergika pada pasien, rencana terapi yang manakah yang
akan anda gunakan untuk manajemen tata laksana?
·
Mulai terapi dan review
·
Mulai terapi dan memulangkan pasien ke
dokter umum untuk follow-up
·
Mulai terapi dan rujuk ke spesialis
respiratorik
6. Jika
anda mencurigai Rinitis Alergika pada pasien, yang manakah yang akan gunakan
untuk terapi (anda boleh memilih satu atau lebih pilihan di bawah ini)?
·
Antihistamine—oral
·
Antihistamin—intra-nasal
·
Steroid—intra-nasal
·
Steroid—intra-bronchial
·
Steroid—oral
·
Dekongestan—oral
·
Dekongestan—intra-nasal
·
Anti-kolinergik (Ipatropium Bromide)
·
Anti-leukotriene
·
Imunoterapi spesifik—sublingual
·
Imunoterapi spesifik—subkutan
7. Berapa
lama anda akan meresepkan semprotan nasal (nasal
spray)?
·
3 bulan
·
6 bulan
·
>6 bulan
8. Apa
frekuensi pemberian semprotan nasal (nasal
spray) yang akan anda resepkan (anda boleh memilih satu atau lebih pilihan
di bawah ini)?
·
Dua semprotan sekali sehari
·
Dua semprotan dua kali sehari
·
Lainnya (tolong spesifik)
9. Apakah
anda menyediakan brosur untuk pasien mengenai perubahan gaya hidup termasuk
edukasi dan menghindari allergen-allergen?
·
Ya
·
Tidak
Comments
Post a Comment